google-site-verification=a29cQDLicXmx_KpxGtFuPjFzKNqoMZ3FEdNxkyQfTTk Kang Badi': May 2020

M E M B A C A L A H ! [ Merefleksikan Korelasi Antara Al-Qur’an dan Koran ]

 
SUBADI

Banyak sekali cara yang bisa kita lakukan untuk memotivasi diri. Bagi saya salah satunya dengan cara menulis hal-hal positif yang kita inginkan, tentang apa saja. Maka dari itu, spirit literasi yang sedang saya sinaoni ini semata-mata untuk motivasi diri, ya, diri saya sendiri. Jika tulisan itu ternyata dibaca oleh orang lain, dan akhirnya bisa memberi bermanfaat, tentu saya juga sangat senang.

Sebagai generasi muslim, kita sudah selayaknya membudayakan membaca. Dengan membaca, kita sejatinya juga sedang menjalani proses belajar, dan bahkan pada titik tertentu membaca juga akan bernilai ibadah, seperti halnya membaca al-Qur’an, membaca shalawat, dan membaca apa saja, asal didasarkan pada niat yang benar, talabil ilmi, misalnya.

Pada tulisan sederhana ini, seperti judul di atas [ MEMBACALAH “ al-Qur’an & Koran”], bukan serta merta “membaca” yang yang saya maksud, hanya ditumpukan pada al-Qur’an dan Koran saja. Benar pada satu sisi, saya ingin sedikit mengulas seputar membaca Al-Qur’an secara kusus, dan pada sisi yang lain saya hendak mengulas sedikit tentang bahan bacaan selain al-Qur’an. Itulah kira-kira topik yang hendak  saya uraikan. Jadi judul itu [Al-Qur’an & Koran], semata-mata hanya untuk keindahan dan ber-gaya saja. Meskipun demikian, semoga tidak mengurangi esensi dari tulisan.

Secara lebih kusus, saya ingin menggaris bawahi kata “Koran”. Koran di sini saya posisikan sebagai wakil untuk semua bacaan selain al-Qur’an, seperti buku bacaan, buku pelajaran, majalah, tabloit,  dan media informasi telekomunikasi lainnya. Artinya, semua bahan bacaan yang dapat menambah wawasan kita, tentang ilmu, informasi, dan sebagainya. Iya, memang benar, secara kusus dan lebih optimal koran [surat kabar] mempunyai porsi tempat yang sedikit lebih luas di tulisan ini. Mohon maaf, meskipun demikian, saya perlu akui bahwa sebenarnya saya juga sangat jarang membaca Koran. Ingin sekali, tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi saya, supaya bisa lebih banyak membaca al-Qur’an dan juga bacaan-bacaan yang lain, terutama membaca buku.

Al-Qur’an dan Koran, sudah maklum di kalangan masyarakat, bahwa ke duanya adalah bahan bacaan yang sangat familiar, dekat dengan kita. Al-Qur’an adalah firman Allah yang sudah ditulis dalam kumpulan yang runtut, dan menjadi bacaan yang indah, di dalamnya terdapat petunjuk ke jalan yang benar. Sedangkan Koran, adalah bacaan tentang informasi terkini tentang apa saja yang terjadi di dunia. Ia berisi pengetahuan, informasi aktual, dan kejadian-kejadian yang menarik untuk diberitakan.

Jika al-Qur’an datangnya dari Dzat yang Maha Alim, yaitu Allah SWT, disampaikan oleh  Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dan dari Nabi Muhammad SAW sampailah kepada kita, umatnya. Ia sebagai petunjuk dan pegangan hidup di dunia bagi umat. Sementara Koran, adalah bacaan hasil liputan para wartawan tentang kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini, nuansa positif dan negatif selalu menyertai bacaan yang ada di Koran, ia sebagai penyalur informasi kepada masyarakat atas segala kejadian yang ada di dunia. Setiap informasi yang disuguhkannya bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua.  

Uraian di atas, menegaskan bahwa antara ke duanya [al-Qur’an dan Koran] terdapat perbedaan yang sangat jauh. Bahkan tidak se level jika membandingkan al-Qur’an dan Koran. Al-qur’an datang dari Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia, sedangkan Koran datang dari manusia sendiri. Namun, meskipun demikian, keduanya menjadi bacaan orang setiap hari. Ada kalanya, orang lebih banyak membaca al-Qur’an, dan ada kalanya, orang lebih banyak membaca Koran ketimbang al-Qur’an. Kira-kira demikian faktanya.

Disamping itu, juga sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang, setiap pagi sambil ngopi di teras, sambil membaca Koran. Sampai-sampai merasa ada yang kurang jika belum sempat membaca Koran, terus tergiang dan bahkan gelisah, kira-kira. Si sisi yang lain, juga banyak orang yang jika sehari tidak membaca al-Qur’an rasanya juga ada yang belum lengkap, seperti ada yang belum komplit. Dan bahkan, ada orang yang sama sekali tidak membaca keduanya, pun demikian rasanya biasa-biasa saja, tidak merasa ada yang kurang sedikit pun.

Bagi saya, secara pribadi ada cara menyikapi al-Qur’an dan Koran. Al-Qur’an sebagai firman Allah, sebagai petunjuk bagi kita, seharusnya senantiasa dibaca setiap hari, karena membaca al-Qur’an adalah ibadah, bahkan membaca satu huruf dalam al-Qur’an pahalanya sepuluh kebaikan. Selain itu, al-Qur’an di dalamnya terdapat petunjuk, yang hendak menuntun manusia ke jalan yang benar. Jika kita dalami lebih lanjut, begitu banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari aktivitas membaca al-Qur’an, entah kita faham artinya, ataupun tidak sama sekali, semuanya penuh dengan fadhilah.

Yang jelas, semakin banyak orang membaca al-Qur’an maka semakin banyak pula mendapatkan petunjuk. Apalagi, jika membacanya tidak asal membaca, tidak sekedar membaca, melainkan membaca al-Qur’an sekaligus memahami pesan dan kandungannya, tentu akan lebih mantap lagi. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa membaca al-Qur’an selain mendapatkan keuntungan pahala dari Allah, juga akan mendapatkan petunjukNya. Petunjuk yang dapat menuntun kepada jalan yang lurus, jalan yang diridhai Allah Ta’ala.

Ya, membaca al-Qur’an lengkap dengan berbagai manfaat. Namun demikian, bukan berarti kita hanya harus membaca al-Quran saja, dan menyingkirkan jauh-jauh Koran [dan bacaan yang lain, juga menyimak berita]. Kiranya,  dapat saya pastikan, - mungkin juga anda-  membaca Koran dan bacaan yang lain juga sangat penting bagi kita, untuk mengetahui setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini, dengan gemar membaca buku dan bacaan yang lain, juga akan menambah wawasan dan membuka kacrawala berfikir kita. Maka, sungguh pun kita sudah membaca al-Qur’an setiap hari, harapan saya, kita juga musti membaca Koran dan bacaan-bacaan yang lain. 

Membaca keduanya, bagi saya perlu dibudayakan, dilestarikan, dan di-dakwah-kan. Karena, antara keduaya, ada kaitan yang sangat kentara dan krusial. Al-Qur’an banyak menyebutkan kejadian-kejadian umum, yang tak sekaligus menyertakan contoh-contoh dan permisalannya secara terperinci, seperti sifat-sifat orang munafik, tindakan orang yang dzalim, orang-orang yang beruntung, bencana, keberkahan, dan lain sebagainya. Sementara Koran dan bacaan yang lain, selalu melaporkan contoh-contoh kejadian konkrik yang sudah terlebih dahulu disebutkan di al-Qur’an. Berbagai macam berita hadir di dalam Koran, berbagai contoh teladan ada di dalam buku, berita peristiwa bencana hadir di TV,  contoh kerusakan hutan juga hadir di Koran dan TV, sungguh lengkap Koran dan bacaan yang lain itu. Secara konkrit menunjukkan kesesuaian antara isi al-Qur’an dan Koran [bacaan yang lain, juga menyimak berita].

Walhasil, jika setiap dari kita membaca koran [dan bacaan yang lain, juga menyimak berita], telah terlebih dahulu membaca al-Qur’an, maka setiap kali membaca Koran [dan bacaan yang lain, juga menyimak berita], kita akan mengatakan “Maha Benar Allah dengan Segala Firmannya”. Apa yang kita baca dalam al-Qur’an, yang disebutkan secara singkat, benar-benar dirinci kejadiannya, dalam Koran-Koran, Buku-buku, TV,  dan Majalah-majalah.

Jika kita refleksikan lebih dalam lagi, saya bisa pastikan,  semuanya tidak ada yang betentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu, gerakan literasi [membaca dan menulis], mari kita terus budayakan, karena sejatinya, [bagi saya] aktivitas liteasi itu adalah bagian dari cara untuk mengokohkan keimanan kita bahwa firman Allah itu [al-Qur’an], yakin benar adanya, sungguh tak ada ruang sejengkal pun untuk meragukan kebenaran al-Qur'an.  Wallahu a’alam bissowab.

1 Juli 2020, Punjul-Karangrejo-Tulungangung

M I A & PESAN KYAI PADA SANTRINYA


 
Kyai H. Agus Samsul Umam Aziz

[ Refleksi Satu Dawuh Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz ]


Subadi

Awalan;
Bapak saya bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, bahkan menurut cerita yang disampaikan, Beliau hanya bisa sekolah sampai kelas 4 SD saja, berarti tidak lulus SD, itulah kenyataannya. Putus sekolah itu benar-benar terjadi pada Bapak saya. Harapan bisa mengenyam bangku sekolah hingga lulus SD,  ternyata hanya menjadi impian yang tak pernah terwujud. Tentu, ini bukanlah hal yang harus disesali, karena sesungguhnya semua yang terjadi, tak lain dan tak bukan, semata-mata atas kehendakNya. Terlebih, ada satu hal yang menyebabkan semua itu terjadi, hingga tak bisa dihindarkan, panjang ceritanya.

Sebenarnya, ingatan dan cara berhitung Beliau itu sangat mumpuni. Mengingat dan berhitungnya hingga kini,  masih sangat tajam, meskipun saya yang nota bene bisa sekolah sampai kuliah, jujur jika adu cepat dalam berhitung,  saya tak kan mampu menandingi cara Beliau berhitung, itulah kenyataannya.

Menurut cerita yang Beliau sampaikan, dulu saat masih sekolah, prestasinya cukup membanggakan, bahkan teman sekelas yang nasibnya mujur, yang saat ini telah menjadi orang [sukses], dulu saat di sekolah jarang bisa menandingi kepandaian Bapak, bagi saya ini adalah tanda bahwa Beliau sebenarnya bukanlah orang yang lemah akal.

Satu Pesan Bapak;
Anak Bapak, yang jumlahnya 4 itu, semuanya sekolah di madrasah, MI, MTs, MA. Tak ada satu pun sekolah yang melalui jalur umum, semuanya sekolah di madrasah. Ini, tidak terjadi begitu saja, ada satu sebab yang melatarbelakanginya, yaitu kesadaran Bapak akan pentingnya pengetahuan agama. Sebagai anak kecil, itu saja yang dapat saya tangkap dari pesan laku hidup –ucapan dan tindakan-  Beliau itu. Jika boleh saya gambarkan dalam kalimat  Beliau itu sangat senang apabila anak-anaknya menjadi orang yang saleh”.  Jika saudara kandung saya, ada yang tidak sepakat dengan tangkapan makna saya ini, sah-sah saja, sama sekali tidak mengurangi keharmonisan keluarga, apalagi mencerai beraikannya. 

Pesan itu, menjadi lebih terbukti ketika saat-saat saya akan hijrah ke Tulungagung, satu pesan yang menjadi syarat bagi saya yang hendak berangkat;
 Lak pingin nerusne sekolah ngalor [kota] kok muk sekolah tok, wes gak usah budal, lak sekolah nyang kuto wajib karo mondok, lak ora mondok podo wae sekolah nik Aliyah kene” [kalau ingin melanjudkan sekolah ke kota, kok tidak dengan mondok tidak usah berangkat, kalau sekolah ke kota wajib mondok, jika tidak mondok, sekolah di Aliyah sini saja, Munjungan].

Pesan ini, bukan pesan basa-basi, orang tua pasti sudah kenyang dengan asinnya garam [pengalaman hidup], meskipun pendidikannya rendah, bahkan tak berpendidikan sekalipun, bagi saya –pesan itu- pasti punya maksud dan tujuan yang sangat dalam dan panjang. Pesan, yang bagi saya juga bagian dari tantangan itu, sontak saya iyakan, saya terima dengan lapang dan bahagia, terlepas dengan pernak-pernik sebab lainnya. Hanya hal positif saja yang saya pegangi. Saya yakin hal positif hanya akan berbuah ke-positif-an saja, meskipun hanya sebatas besitan hati, remeh bukan?

Alhmdulillah, saya punya seorang saudara yang sangat kokoh pendirian dan tulus nuraninya, jika tidak, saya paling-paling tidak akan sampai di Tulungagung, apalagi bisa ke Pondok MIA. Semuanya sejatinya juga karena perjuangannya, saya tak boleh lupa akan itu, sungguh. Panjang sekali jika saya ceritakan. Itu setidaknya bisa mewakili, proses yang pelik itu.

Walhasil, saya bisa sekolah di MAN 2 Tulungagung, dan Mondok di MIA yang berada di desa Moyoketen, ini wajib saya syukuri, karena di saat yang sama saya bisa Mondok dan sekolah sekaligus. Saya sadar, saya bukan anak yang pandai di sekolah apalagi mahir ngaji di Pondok, setidaknya proses panjang itu, telah mengantarkan saya bisa mengenyam pendidikan umum dan pendidikan agama, walaupun tidak banyak yang saya dapat, mudah-mudahan yang sedikit ini, dapat menjadi bekal hidup bagi pribadi saya sendiri. Itu saja, tidak lebih, jika ada lebihnya, ya semata-mata hanya min fadhli Robbi.

Pesan Bapak itu, jika boleh saya tafsirkan; ”pengetahuan agama di atas pengetahuan umum”. Dan asumsi itu, bagi saya tidak ada salahnya, toh yang beramsumsi hanyalah orang kampung nun jauh di sana, dan SD saja,  bahkan tidak tamat. Nasib-nasib.

MIA dan Pesan Almaghfurlah Romo Kyai  H. Abdul Aziz
Bagian inilah, yang sebenarnya hendak saya kukuhkan di tulisan sederhana ini, awalan di atas itu, perlu saya utarakan karena sejatinya ada korelasi dengan apa yang di pesankan Romo Kyai kala itu, lahul fatihah 3 x !

Halaman Madrasah Belakang


Pondok Pesantren tercinta, MIA [ Ma’hadul Ilmi Wal Amal], adalah pondok pesantren Salafi yang didirikan oleh Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz, tepatnya di dusun Pacet, Desa Moyoketen, Kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Bagi saya -mungkin juga bagi para santri yang lain- Beliau adalah sosok Kyai yang karismatik dan bersahaja, ilmu hikmahnya yang begitu dalam, soal ilmu fikih, nahwu dan sorof, sudah mafhum Beliau kuasai dengan jernih dan kokoh. Sebab menjadi seorang Kyai, bukanlah deklarasi pribadi, akan tetapi tanda dan sematan yang telah diberikan oleh masyarakat luas, sebab kedalam ilmu agama, pengabdian dan peran serta perhatiannya kepada pengetahuan agama yang tak diragukan lagi. Apalagi peran sosial di masyarakat,  tentu menjadi prasyarat yang tak terelakkan bagi sosok Kyai.  Itulah setitik gambaran singkat, bagi saya santri malas ini, ya Allah.

Pondok MIA, bagi saya adalah Pesantren yang istimewa, karena perhatian Kyai, Ibu Nyai, dan para Putra [Gus dan Ning], juga para Ustadz kepada santri yang ada, sungguh sangat besar dan luas. [semoga Allah selalu melimpahkan rahmatNya kepada Beliau-beliau  semua, Amin. ].

Keistimewaan Pesantren ini, serasa semakin lengkap, dengan sarana yang diberikan, kebersihan lingkungan Pesantren yang begitu diperhatikan, terlebih kegiatan ngaji -saben wektu- yang secara konsisten/istiqamah terus terjaga hingga kini. Dari waktu ke waktu, sejauh yang saya amati dan alami, terus mengalami keamajuan yang signifikan. Semoga ini dijaga oleh Allah hingga yaumil qiyamah.Amin.

Ternyata keistimewaan Pesantren ini, tidak hanya berhenti di sini saja, kala itu, para santri yang mukim di MIA bukan hanya santri kusus mondok saja, mereka terbagi beberapa model santri, ada yang hanya mondok salafi saja, ada yang mondok dengan bekerja, dan ada yang mondok nyambi sekolah umum [ anak SMP, MTs, SMK, STM, MA, dan SMA, bahkan ada santri yang nyambi kuliah, tersebar di STAIN, STAI DIPO, dan STAIM]. Semua model santri itu ada di MIA, kenyataan ini, jika kita renungkan sejenak, akan menemukan fadhilah-fadhilah yang amat mulia. Secara pribadi, Ini adalah keistimewaan yang patut disyukuri.

Dengan penuh kesadaran, saya besaksi, semua yang nyantri tiada yang luput dari perhatian Sang Kyai, dan keluarga ndalem. Semuanya mendapatkan bimbingan dan pengajaran agama yang sama, sama sekali tidak ada yang dibeda-bedakan, tinggal bagaimana santri, bisa memahami dan bersikap  untuk menentukan jalannya dalam menyelami ilmu-ilmu yang disuguhkan di Pesantren MIA itu. Jika didasari dengan niat talabul ilmi, dan pengabdian yang tulus, buah manislah yang akan di dapat, jika tidak ? hanya Allahlah yang tau jawabannya, saya sama sekali tidak berhak menjawab, karena bukan wilayah saya. Hehe.

Sungguh, sekelumit itu tak kan mampu menggambarkan se juta keistimewaan MIA yang tercinta itu, semoga pada kesempatan yang lain, saya diberi kekuatan oleh Allah untuk menulis, tentang pesan-pesan dan cerita seputar nyantri.  Amin.

Pesan Luhur itu apa?
Karena saya termasuk model santri -modok nyambi sekolah-, setidaknya ada satu pesan yang hingga kini terus tergiang di benak saya, terpatri hingga menjadi kokoh di hati dan keyakinan saya. Bukan berarti pesan-pesan yang lain menjadi tidak berarti, sama sekali tidak. Semua pesan-pesan Beliau itu, sangatlah berarti bagi santri-santrinya. Dalam konteks tulisan ini, saya merasa layak untuk mengutarakannya. Sebagai tanda syukur saya, yang telah menerima pesan mulia itu.

Pesan Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz.  Kepada satri yang mondok sekaligus sekolah umum, Beliau berpesan; "Cah niatono mondok nyambi sekolah, ojo kuwalik,  ben luweh barokah mondokmu lan sekolahmu” itulah dawuh Beliau, di sela-sela ngaji Kitab Tafsir Jalalain, yang rutin dibacakan selepas shalat subuh itu, dan kemudian disambung dengan dawuh “wal akhirotu khoirun laka minal ulaa”.  Yang tak lain adalah ayat dari al-Qur’an.

Ketika saya mendengarkan pesan itu, hati saya terasa tersontak, yang mula-mula mukim di pondok hanya sebatas menerima tantangan Bapak saya di atas, agar diijinkan bisa sekolah di Tulungagung, saat itu pula saya mulai berfikir keras untuk memahami maksud pesan Beliau ini, seiring perjalannya waktu, sedikit demi sedikit saya mulai merasakan dan menemukan jawabannya. Rasanya kebodohan ini, menjadikan niat yang kurang tepat dalam menentukan pijakan dalam talabul ilmi. Terutama bagi saya yang sekolah umum sekaligus mondok. Karena, di fikiran yang tergiang hanyalah, ketika nanti lulus sekolah 3 tahun di MAN, ya sudah, saya boyong. Mondok seakan hanya menjadi sampingan semata. Naif sungguh naif.

  Pesan Romo Kyai itu, bagi saya, semata-mata mengejawentahkan satu percikan dari sari pati ayat “wal akhirotu khoirun laka minal ulaa”. Tanpa bermaksud memisahkan suatu pengetahuan, benar bahwa pendidikan sekolah umum tidaklah selevel dengan pendidikan Pesantren, pada konsentrasi dalam ranah pengetahuan agamanya. Pendidikan sekolah umum secara optimal memproses peserta didik untuk memahami dan menguasai pengetahuan umum. Sedangkan pendidikan Pesantren, secara optimal memberi pengajaran tentang pengetahuan agama. diterima atau tidak, kenyataannya memang demikian, meskipun anda menganggap ini hanya sebatas opini, bagi saya tidak masalah, dan bahkan tidak akan menggoyahkan keyakinan saya, sebab, sejauh yang saya alami, demikin adanya.

Dan pada gilirannya, niat konyol itu –nyambi mondok- berubah 180 derajat. Dengan penuh kesadaran, pesan Beliau itu, merubah pijakan talabul ilmi sekaligus niat saya. Sehingga niat mondok saya posisikan di deretan yang paling utama –Niat mondok nyambi sekolah-. Jika kita pelajari lebih jauh, pesan itu akan terjabarkan seperti tak bertepi. Karena, pengajaran di Pesantren secara optimal, para santri mendapatkan pengetahuan agama secara kaffah, mulai pelajaran fikih, qur’an, hadits, ilmu alat [nahwu-sharaf], ilmu tasawuf, dan lain sebagainya, yang semuanya bertujuan mengantarkan para santri menjadi manusia yang berilmu agama tinggi, berkarakter mulia dan menjadi orang yang saleh, bertanggung jawab kepada dirinya sekaligus taat kepada Allah SWT.

Romo Kyai, berpesan demikian, sama sekali tidak bermaksud untuk meremehkan dan mengesampingkan pendidikan umum, sehingga para santri yang nyambi sekolah umum menjadi kendor belajarnya. Sungguh tidak, saya pastikan tidak sama sekali. Pasalnya. Santri yang nyambi sekolah umum selalu mendapat perhatian lebih, mulai dari waktu belajar dan ngaji yang sedikit dibatasi, sampai-sampai ketika Ujian Nasional tiba, para santri yang nyambi sekolah itu, - baik santri pondok dan madrasah yang nduduk [tidak mukim],- selalu diberi amalan kusus dan diberi minum air suci yang berlumur do’a agar selalu diberi kemudahan dan kesuksesan ketika mengerjakan soal-soal ujian. Sunguh istimewa bukan ?

Makna yang terakhir adalah, harapan Beliau kepada santrinya, agar kelak menjadi orang yang saleh. Ya, itulah inti dari pesan itu. Karena dengan menjadi pribadi yang saleh, apapun profesi kita, sangat mungkin untuk bekerja secara profesional. Dengan selalu mengedepankan nilai-nilai luhur di setiap kerja dan laku hidup, niat ibadah, jujur, adil, amanah, dan penuh ketaatan kepad Allah SWT. Semata-mata ihtiyar untuk meraih tujuan hidup yang sesungguhnya “sa’idun fiddunya wa sa’idun fil akhirah” [dapat meraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat]. Amin.

Rileks Sejenak;
Kini, Almamater terus berkembang menuju kemajuan, sepeninggal Romo Kyai H. Abdul Aziz, kini tongkat kepemimpinan itu dilanjutkan oleh Kyai H. Agus Samsul Umam Aziz. Semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT.
MIA adalah  tempat talabul ilmi yang sangat strategis, nyaman, dan aman bagi para santri. Ditunjang dengan fasilitas gedung yang memadahi,  lingkungan yang bersih, dan komitmen/hirroh yang kuat dari para pengasuh dalam li nasril ilmi dan berdakwah. Kini PonPes MIA mengembangkan sayap dakwahnya dengan mendirikan sekolah umum yang berbasis Pondok Pesantren,  (SMPI) yang sudah berjalan -+ 4 tahun. [Ma'hadul Ilmi Wal Amal], Sebuah nama pemberian Almahfurlah Hadratussyaikh Kyai H. Gus Miek / tambak,  ploso kediri.  Insyaallah Barokah. Amin.

31 Mei 2020, Punjul-Karangrejo-Tulungagung

𝗥𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗞𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻

𝘒𝘦𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘴𝘰𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪...