[ Refleksi
Satu Dawuh Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz ]
Subadi
Awalan;
Bapak
saya bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, bahkan menurut cerita yang disampaikan, Beliau hanya bisa sekolah sampai kelas 4 SD saja, berarti tidak lulus SD,
itulah kenyataannya. Putus sekolah itu benar-benar terjadi pada Bapak saya. Harapan
bisa mengenyam bangku sekolah hingga lulus SD, ternyata hanya menjadi impian yang
tak pernah terwujud. Tentu, ini bukanlah hal yang harus disesali, karena
sesungguhnya semua yang terjadi, tak lain dan tak bukan, semata-mata atas
kehendakNya. Terlebih, ada satu hal yang menyebabkan semua itu terjadi, hingga tak bisa dihindarkan, panjang ceritanya.
Sebenarnya,
ingatan dan cara berhitung Beliau itu sangat mumpuni. Mengingat dan
berhitungnya hingga kini, masih sangat tajam, meskipun saya yang nota bene bisa
sekolah sampai kuliah, jujur jika adu cepat dalam berhitung, saya tak kan mampu
menandingi cara Beliau berhitung, itulah kenyataannya.
Menurut
cerita yang Beliau sampaikan, dulu saat masih sekolah, prestasinya cukup membanggakan, bahkan teman sekelas yang nasibnya mujur, yang saat ini telah menjadi orang [sukses], dulu saat di sekolah jarang bisa menandingi
kepandaian Bapak, bagi saya ini adalah tanda bahwa Beliau sebenarnya bukanlah
orang yang lemah akal.
Satu Pesan
Bapak;
Anak
Bapak, yang jumlahnya 4 itu, semuanya sekolah di madrasah, MI, MTs, MA. Tak ada
satu pun sekolah yang melalui jalur umum, semuanya sekolah di madrasah. Ini,
tidak terjadi begitu saja, ada satu sebab yang melatarbelakanginya, yaitu
kesadaran Bapak akan pentingnya pengetahuan agama. Sebagai anak kecil, itu saja
yang dapat saya tangkap dari pesan laku hidup –ucapan dan tindakan- Beliau itu. Jika boleh saya gambarkan dalam
kalimat “Beliau itu
sangat senang apabila anak-anaknya menjadi orang yang saleh”. Jika saudara
kandung saya, ada yang tidak sepakat dengan tangkapan makna saya ini, sah-sah
saja, sama sekali tidak mengurangi keharmonisan keluarga, apalagi mencerai beraikannya.
Pesan
itu, menjadi lebih terbukti ketika saat-saat saya akan hijrah ke Tulungagung,
satu pesan yang menjadi syarat bagi saya yang hendak berangkat;
“Lak pingin nerusne sekolah ngalor [kota]
kok muk sekolah tok, wes gak usah budal, lak sekolah nyang kuto wajib karo
mondok, lak ora mondok podo wae sekolah nik Aliyah kene” [kalau ingin
melanjudkan sekolah ke kota, kok tidak dengan mondok tidak usah berangkat,
kalau sekolah ke kota wajib mondok, jika tidak mondok, sekolah di Aliyah sini
saja, Munjungan].
Pesan
ini, bukan pesan basa-basi, orang tua pasti sudah kenyang dengan asinnya
garam [pengalaman hidup], meskipun pendidikannya rendah, bahkan tak
berpendidikan sekalipun, bagi saya –pesan itu- pasti punya maksud dan
tujuan yang sangat dalam dan panjang. Pesan, yang bagi saya juga bagian
dari tantangan itu, sontak saya iyakan, saya terima dengan lapang dan bahagia,
terlepas dengan pernak-pernik sebab lainnya. Hanya hal positif saja yang saya
pegangi. Saya yakin hal positif hanya akan berbuah ke-positif-an saja, meskipun
hanya sebatas besitan hati, remeh bukan?
Alhmdulillah,
saya punya seorang saudara yang sangat kokoh
pendirian dan tulus nuraninya, jika
tidak, saya paling-paling tidak akan sampai di Tulungagung, apalagi bisa ke
Pondok MIA. Semuanya sejatinya juga karena perjuangannya, saya tak boleh lupa
akan itu, sungguh. Panjang sekali jika saya ceritakan. Itu setidaknya
bisa mewakili, proses yang pelik itu.
Walhasil, saya bisa sekolah di MAN 2 Tulungagung, dan Mondok di
MIA yang berada di desa Moyoketen, ini wajib saya syukuri, karena di saat yang
sama saya bisa Mondok dan sekolah sekaligus. Saya sadar, saya bukan anak
yang pandai di sekolah apalagi mahir ngaji di Pondok, setidaknya proses
panjang itu, telah mengantarkan saya bisa mengenyam pendidikan umum dan
pendidikan agama, walaupun tidak banyak yang saya dapat, mudah-mudahan yang sedikit ini, dapat menjadi bekal hidup bagi pribadi saya sendiri. Itu saja, tidak lebih, jika ada
lebihnya, ya semata-mata hanya min fadhli Robbi.
Pesan
Bapak itu, jika boleh saya tafsirkan; ”pengetahuan agama di atas pengetahuan
umum”. Dan asumsi itu, bagi saya tidak ada salahnya, toh yang beramsumsi
hanyalah orang kampung nun jauh di sana, dan SD saja, bahkan tidak tamat. Nasib-nasib.
MIA dan Pesan
Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz
Bagian
inilah, yang sebenarnya hendak saya kukuhkan di tulisan sederhana ini, awalan
di atas itu, perlu saya utarakan karena sejatinya ada korelasi dengan apa yang
di pesankan Romo Kyai kala itu, lahul fatihah 3 x !.
Halaman Madrasah Belakang |
Pondok
Pesantren tercinta, MIA [ Ma’hadul Ilmi Wal Amal], adalah pondok pesantren
Salafi yang didirikan oleh Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz, tepatnya
di dusun Pacet, Desa Moyoketen, Kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Bagi
saya -mungkin juga bagi para santri yang lain- Beliau adalah sosok Kyai
yang karismatik dan bersahaja, ilmu hikmahnya yang begitu dalam, soal ilmu
fikih, nahwu dan sorof, sudah mafhum Beliau kuasai dengan jernih dan
kokoh. Sebab menjadi seorang Kyai, bukanlah deklarasi pribadi, akan
tetapi tanda dan sematan yang telah diberikan oleh masyarakat luas, sebab kedalam
ilmu agama, pengabdian dan peran serta perhatiannya kepada pengetahuan agama yang tak
diragukan lagi. Apalagi peran sosial di masyarakat, tentu menjadi prasyarat yang tak terelakkan bagi sosok Kyai. Itulah setitik gambaran singkat, bagi saya santri malas ini, ya
Allah.
Pondok
MIA, bagi saya adalah Pesantren yang istimewa, karena perhatian Kyai, Ibu Nyai,
dan para Putra [Gus dan Ning], juga para Ustadz kepada santri yang ada, sungguh
sangat besar dan luas. [semoga Allah selalu melimpahkan rahmatNya kepada
Beliau-beliau semua, Amin. ].
Keistimewaan
Pesantren ini, serasa semakin lengkap, dengan sarana yang diberikan, kebersihan
lingkungan Pesantren yang begitu diperhatikan, terlebih kegiatan ngaji -saben
wektu- yang secara konsisten/istiqamah terus terjaga hingga kini. Dari waktu
ke waktu, sejauh yang saya amati dan alami, terus mengalami keamajuan yang signifikan. Semoga
ini dijaga oleh Allah hingga yaumil qiyamah.Amin.
Ternyata
keistimewaan Pesantren ini, tidak hanya berhenti di sini saja, kala itu, para
santri yang mukim di MIA bukan hanya santri kusus mondok saja, mereka terbagi
beberapa model santri, ada yang hanya mondok salafi saja, ada yang mondok
dengan bekerja, dan ada yang mondok nyambi sekolah umum [ anak SMP, MTs,
SMK, STM, MA, dan SMA, bahkan ada santri yang nyambi kuliah, tersebar di STAIN,
STAI DIPO, dan STAIM]. Semua model santri itu ada di MIA, kenyataan ini, jika
kita renungkan sejenak, akan menemukan fadhilah-fadhilah yang amat
mulia. Secara pribadi, Ini adalah keistimewaan yang patut disyukuri.
Dengan
penuh kesadaran, saya besaksi, semua yang nyantri tiada yang luput dari perhatian
Sang Kyai, dan keluarga ndalem. Semuanya mendapatkan bimbingan dan pengajaran agama
yang sama, sama sekali tidak ada yang dibeda-bedakan, tinggal bagaimana santri,
bisa memahami dan bersikap untuk
menentukan jalannya dalam menyelami ilmu-ilmu yang disuguhkan di
Pesantren MIA itu. Jika didasari dengan niat talabul ilmi, dan
pengabdian yang tulus, buah manislah yang akan di dapat, jika tidak ?
hanya Allahlah yang tau jawabannya, saya sama sekali tidak berhak menjawab,
karena bukan wilayah saya. Hehe.
Sungguh,
sekelumit itu tak kan mampu menggambarkan se juta keistimewaan MIA yang
tercinta itu, semoga pada kesempatan yang lain, saya diberi kekuatan oleh Allah
untuk menulis, tentang pesan-pesan dan cerita seputar nyantri. Amin.
Pesan
Luhur itu apa?
Karena
saya termasuk model santri -modok nyambi sekolah-, setidaknya ada satu
pesan yang hingga kini terus tergiang di benak saya, terpatri
hingga menjadi kokoh di hati dan keyakinan saya. Bukan berarti pesan-pesan yang
lain menjadi tidak berarti, sama sekali tidak. Semua pesan-pesan Beliau itu,
sangatlah berarti bagi santri-santrinya. Dalam konteks tulisan ini, saya merasa
layak untuk mengutarakannya. Sebagai tanda syukur saya, yang telah menerima
pesan mulia itu.
Pesan
Almaghfurlah Romo Kyai H. Abdul Aziz. Kepada
satri yang mondok sekaligus sekolah umum, Beliau berpesan; "Cah niatono mondok nyambi sekolah, ojo kuwalik, ben luweh barokah mondokmu lan sekolahmu” itulah dawuh Beliau,
di sela-sela ngaji Kitab Tafsir Jalalain, yang rutin dibacakan selepas shalat subuh
itu, dan kemudian disambung dengan dawuh “wal akhirotu khoirun laka minal ulaa”. Yang tak lain adalah ayat dari al-Qur’an.
Ketika
saya mendengarkan pesan itu, hati saya terasa tersontak, yang mula-mula
mukim di pondok hanya sebatas menerima tantangan Bapak saya di atas, agar
diijinkan bisa sekolah di Tulungagung, saat itu pula saya mulai berfikir keras
untuk memahami maksud pesan Beliau ini, seiring perjalannya waktu,
sedikit demi sedikit saya mulai merasakan dan menemukan jawabannya. Rasanya kebodohan
ini, menjadikan niat yang kurang tepat dalam menentukan pijakan dalam talabul
ilmi. Terutama bagi saya yang sekolah umum sekaligus mondok. Karena, di fikiran
yang tergiang hanyalah, ketika nanti lulus sekolah 3 tahun di MAN, ya sudah, saya
boyong. Mondok seakan hanya menjadi sampingan semata. Naif sungguh
naif.
Pesan Romo
Kyai itu, bagi saya, semata-mata mengejawentahkan satu percikan dari sari
pati ayat “wal akhirotu khoirun
laka minal ulaa”. Tanpa bermaksud
memisahkan suatu pengetahuan, benar bahwa pendidikan sekolah umum tidaklah
selevel dengan pendidikan Pesantren, pada konsentrasi dalam ranah pengetahuan
agamanya. Pendidikan sekolah umum secara optimal memproses peserta didik untuk
memahami dan menguasai pengetahuan umum. Sedangkan pendidikan Pesantren, secara
optimal memberi pengajaran tentang pengetahuan agama. diterima atau tidak,
kenyataannya memang demikian, meskipun anda menganggap ini hanya sebatas opini,
bagi saya tidak masalah, dan bahkan tidak akan menggoyahkan keyakinan saya,
sebab, sejauh yang saya alami, demikin adanya.
Dan
pada gilirannya, niat konyol itu –nyambi mondok- berubah 180 derajat. Dengan
penuh kesadaran, pesan Beliau itu, merubah pijakan talabul ilmi sekaligus
niat saya. Sehingga niat mondok saya posisikan di deretan yang paling utama –Niat
mondok nyambi sekolah-. Jika kita pelajari lebih jauh, pesan itu akan
terjabarkan seperti tak bertepi. Karena, pengajaran di Pesantren secara optimal,
para santri mendapatkan pengetahuan agama secara kaffah, mulai pelajaran
fikih, qur’an, hadits, ilmu alat [nahwu-sharaf], ilmu tasawuf, dan lain
sebagainya, yang semuanya bertujuan mengantarkan para santri menjadi manusia
yang berilmu agama tinggi, berkarakter mulia dan menjadi orang yang saleh, bertanggung jawab kepada dirinya sekaligus taat
kepada Allah SWT.
Romo
Kyai, berpesan demikian, sama sekali tidak bermaksud untuk meremehkan dan
mengesampingkan pendidikan umum, sehingga para santri yang nyambi sekolah
umum menjadi kendor belajarnya. Sungguh tidak, saya pastikan tidak sama sekali.
Pasalnya. Santri yang nyambi sekolah umum selalu mendapat
perhatian lebih, mulai dari waktu belajar dan ngaji yang sedikit dibatasi, sampai-sampai
ketika Ujian Nasional tiba, para santri yang nyambi sekolah itu, - baik santri
pondok dan madrasah yang nduduk [tidak mukim],- selalu diberi amalan kusus
dan diberi minum air suci yang berlumur do’a agar selalu diberi kemudahan dan
kesuksesan ketika mengerjakan soal-soal ujian. Sunguh istimewa bukan ?
Makna yang terakhir adalah, harapan Beliau kepada santrinya, agar kelak menjadi orang yang saleh. Ya, itulah inti dari
pesan itu. Karena dengan menjadi pribadi yang saleh, apapun profesi kita, sangat
mungkin untuk bekerja secara profesional. Dengan selalu mengedepankan
nilai-nilai luhur di setiap kerja dan laku hidup, niat ibadah, jujur, adil,
amanah, dan penuh ketaatan kepad Allah SWT. Semata-mata ihtiyar untuk meraih
tujuan hidup yang sesungguhnya “sa’idun
fiddunya wa sa’idun fil akhirah” [dapat meraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan
di akhirat]. Amin.
Rileks Sejenak;
Kini,
Almamater terus berkembang menuju kemajuan, sepeninggal Romo Kyai H. Abdul
Aziz, kini tongkat kepemimpinan itu dilanjutkan oleh Kyai H. Agus Samsul Umam
Aziz. Semoga beliau selalu dalam lindungan
Allah SWT.
MIA
adalah tempat talabul ilmi yang
sangat strategis, nyaman, dan aman bagi para santri. Ditunjang dengan fasilitas
gedung yang memadahi, lingkungan yang
bersih, dan komitmen/hirroh yang kuat dari para pengasuh dalam li
nasril ilmi dan berdakwah. Kini PonPes MIA mengembangkan sayap dakwahnya
dengan mendirikan sekolah umum yang berbasis Pondok Pesantren, (SMPI) yang sudah berjalan -+ 4 tahun. [Ma'hadul Ilmi Wal Amal], Sebuah nama pemberian Almahfurlah
Hadratussyaikh Kyai H. Gus Miek / tambak,
ploso kediri. Insyaallah Barokah.
Amin.
Kyai Damsir yg sholeh sosialnya patut ditiru santrinya...
ReplyDeleteLahul fatihah....
Lanjutken Gus Badi'...
Ya Allah...
DeleteTobbek markotobbek..
ReplyDeleteYa Allah... Kang Santri...
DeleteSubhanalloh... Walhamdulillah...
ReplyDeleteYa Rabbi....
ReplyDeletePenulis yang profuktif kang...
ReplyDeleteDuko isine pak... Hehe
DeleteAlhamdulillah.... Mabruk kang...
ReplyDeleteYoh... Dang gek nulis... Ben banyak sudut pandang....
DeleteMening ustadz...mantabek...
ReplyDeleteNU pokoke kang....
DeleteSami'na...
ReplyDeletewa atho'na.
ReplyDeleteLuar biasa pak...mantab
ReplyDeleteAyo pak Aan...
Delete