google-site-verification=a29cQDLicXmx_KpxGtFuPjFzKNqoMZ3FEdNxkyQfTTk Kang Badi': Pesan di Balik Syair Nadzam Imriti

Pesan di Balik Syair Nadzam Imriti



[Motivasi dalam Menuntut Ilmu]

Subadi 

] كلا ترم علما وتترك التعب [
“ Jangan menginginkan suatu ilmu, jika tidak mau bersusah payah [ untuk mendapatkannya]”, bait nadzam ke 99 bagian 2, al-Imriti.

Sungguh, sebenarnya saya merasa malu menulis topik ini, mengaca pada diri sendiri yang sarat akan kemalasan, rasanya kurang tepat jika harus membuat tulisan yang isinya sarat motivasi, apalagi tentang kerja keras dalam menuntut ilmu. Mungkin, jika saya telah menyadarinya sejak jauh-jauh hari, saat masih masih duduk di bangku sekolah dulu, sangat mungkin ceritanya akan berbeda. 

Rasanya hanya penyesalan, kenapa dahulu tidak pernah sadar bahwa untuk meraih kesuksesan dalam belajar, ada satu prasyarat utama yang tidak boleh ditinggalkan. Ya, untuk menghasilkan ilmu yang banyak hanya dapat dicapai dengan ketekunan dan kerja keras dalam belajar. Meskipun demikian, juga tidak harus menjadi masalah, ketika saya menyadari bahwa waktu belajar, sejatinya tidak hanya terbatas di saat waktu masih remaja saja. Tetapi, bukankah waktu belajar itu sepanjang hayat ? Iya, menuntut ilmu dimulai dari ayunan sampai ke liang lahat. Artinya, selama kita masih bernafas, tidak ada kata terlambat untuk terus belajar, menuntut ilmu. 

Topik ini, semestinya diuraikan oleh orang-orang yang telah menikmati kesuksesan mulia dalam proses belajarnya. Untuk menyuntikkan motivasi kepada para remaja dan pelajar yang masih mengenyam bangku sekolah, kususnya. Tetapi yakinlah, bahwa tulisan ini semata-mata proses belajar menulis, atau istilah familiarnya “belajar ber-olah kata”. Kira-kira demikian. Maka dari itu, tidak usah diperdebatkan, apakah isinya hanya sebatas opini, atau bahkan cerita fiksi semata, yang tak pernah terjadi di alam nyata. Ini murni belajar menulis, menata kata-kata sedemikian rupa,  mumpung waktu dan kesempatan masih terbuka lebar, ramai-ramai lagi, dan bahkan berbonus sesuatu yang sangat bermanfaat, ilmu, kebahagiaan, wawasan, saudara, dan masih banyak lagi. Di mana lagi kalau bukan di Ma’arif Menulis.

Oke, kembali ke topik. Sedikit menyinggung soal kitab nahwu. Saya dapat memastikan, bagi siapa saja yang pernah belajar ilmu alat [nahwu dan sharaf]  di bangku madrasah diniyah maupun di pesantren, pasti tidak asing dengan kitab Nadzom Imriti. Kitab nahwu [biasa disebut sebagai abul ilmi, ayahnya ilmu] yang satu tingkat lebih tinggi dan luas penjabarannya dari kitab nahwu Matan Jurimiyah buah karya Syekh Muhammad As-Shanhaji. Kitab Nadzom Imriti  dikatakan lebih luas jabarannya karena ia memang penjelasan dari Matan Jurumiyah itu sendiri. Sebagaimana pengalaman pribadi, Matan Jurumiyah diajarkan di bangku kelas 5 ibtida’ sedangkan Nadzom Imriti diajarkan di kelas 6 ibtida’. Jika Matan Jurumiyah berupa teks sederhana, Nadzom Imriti berupa bait-bait nadzam. Tentu, di kelas berapa dua kitab itu disajikan, sangat tergantung madrasah masing-masing.

Menapaki tangga ilmu alat, yang mulai dari kedua kitab tersebut, sudah menjadi maklum bagi warga pesantren. Menuntaskan kedua kitab itu, semata-mata sebagai dasar memahami ilmu alat, kususnya ilmu nahwu. Dan ini, sudah menjadi keharusan bagi santri, memahaminya mulai dengan cara dihafalkan, atau hanya mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya, sangat tergantung dengan nidham madrasah masing-masing. Tangga ilmu alat –nahwu- selanjudnya adalah kitab Alfiyah Ibni Malik, sebuah maha karya dalam bidang ilmu nahwu yang sangat komprehensif, ia berupa nadzam yang berisi 1002 bait, kitab ini juga disyarahi [dikomentari] oleh Syekh Bahauddin 'Abdullah bin 'Aqil, al'Aqli, al-Mishri, al-Hamdani, dengan nama kitabnya Syarah Ibni Aqil.

Santri [pelajar], jika ingin sukses dalam studinya, tak lain ihtiyar yang harus diutamakan adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Tak ada cara lain, selain hanya belajar dengan sungguh-sungguh. Menyadari akan mulianya ilmu, berarti menyadari pula akan posisi ilmu, ilmu tidaklah berada di bawah, tetapi ilmu itu posisinya sangatlah tinggi. Sehingga meraihnya pun butuh keseriusan bahkan bersusah payah. Ilmu yang tinggi, bisa kita ibaratkan sesuatu yang bergelantungan di tempat yang tinggi, sehingga untuk mendapatkannya perlu ihtiyar mamanjat, atau bahkan menggunakan tangga yang kokoh sehingga kita bisa meraihnya. Berbeda jika, ilmu itu nilainya rendah, pasti mendapatkannya pun menjadi gampang dan mudah, ibarat buah yang terlalu matang di pohon, berubah rasanya dan kemudaian jatuh ke tanah, pasti untuk mendapatkannya sangat mudah, kita tinggal mengambil saja, tanpa harus bersusah payah, dan tanggapun pasti tidak dibutuhkan. Makannya ilmu itu, nilainya tinggi, sehingga jika ingin sukses mendapatkan ilmu, tak ada cara lain, kecuali hanya dengan belajar sungguh-sungguh, da’anya juga tidak boleh luput, bahkan disertai tirakat

Kebanyakan orang, [termasuk saya], cita-citanya setinggi langit dan harapannya besar,  tetapi minim ihtiyar untuk meraihnya, dapat dipastikan tidak akan sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Mengagumi seseorang yang sukses mulia itu perlu, akan lebih bermakna lagi, jika kita mau meneladani proses yang telah menghantarkannya pada kesuksesan itu, akan jauh lebih penting bagi kita. Jangan hanya melihat hasilnya, tetapi lihat dan tirulah prosesnya. Berat? Kayaknya pasti. 

Soal kesungguhan belajar ini, rata-rata orang yang telah sukses itu, dalam prosesnya memang dilalui dengan penuh semangat dan bersusah payah. Sebagai contoh, As-Saroksy hampir tidak pernah tidur di malam hari, begitu juga Ziyad bin Hasan, malam-malamnya habis hanya untuk belajar. Namun ada yang lebih spektakuler lagi, yaitu Shahibul Adz-Dzakhair [pengarang kitab adz- Dzakair], yang punya nama lengkap Mujli bin Juma’i al-Makhzumi, salah satu fuqaha’ Safi’iyah min ghoiri Syakhin, tanpa guru atau otodidak. Beliau ini, menjadi fuqoha’ yang terkenal dengan bermodal bondo nekat. Akan tetapi, kerja keras dan kesungguhannya dalam belajar, telah mampu mengantarkan ketiga sosok itu, kepada kesuksesan menjadi ahli fikih yang perhitungkan di masanya. Kisah ketiga orang alim ini, saya ambil dari buku Rahasia Sukses Fuqaha’, M. Rodlwan Qoyyum Said, 99.

Sebenarnya, banyak orang sukses di sekitaran kita, yang sering berbagi tip dan pengalamannya yang bisa kita teladani. Semisal, orang yang sekarang menjadi penulis terkenal, karya-karyanya tidak hanya banyak tetapi juga bermutu, karena kegigihan dan ketekunannya membaca dan menulis, akhirnya berbuah manis dengan kesuksesan mulia. Proses yang dilalui juga tidak ringan, butuh niat yang kokoh dan konsistensi yang tinggi. Ia telah mewajibkan dirinya, bahwa setiap hari harus membaca minimal 10 halaman buku, dan setiap hari tanpa absen harus menulis minimal 5 paragraf, dan lain sebagainya, tiada hari tanpa belajar, membaca, dan menulis secara istiqamah. Kiranya, tak berlebihan jika saya ikut menegaskan, bahwa untuk menjadi ‘Alim dan sukses mulia itu, butuh kerja keras, komitmen, istiqomah, dan ketekunan dalam prosesnya. Sebagaimana dipesankan Shahibul Imriti, Syekh Syarifuddin Yahya al-Imriti di dalam bait Nadhamnya di atas tersebut.

“Jangan menginginkan suatu ilmu, jika tidak mau bersusah payah [untuk mendapatkannya]” Wallahu a’lam.

03 Juni 2020, Punjul-Karangrejo-Tulungagung.

8 comments:

  1. Pernah membaca Karya,al-sarakhsy berjudul al-mabsut,. Meskipun hanya sekilas,. Hehehe,.
    Dan memang termasuk tirakat, menurut saya adalah mengalahkan rasa malas,.

    ReplyDelete
  2. Njh to pak.. Kata teman2 yang suka tirakat banyak manfaat nya...

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Kui inspirasi nya dari anda Kang Dosen... Perjuangan berdarah2mu nyata2 membuahkan hasil....

      Delete
  4. Luar biasa... Dapat utk motivasi diri... Kalau ingin berhasil ya harus ikhtiar bukan bermalas2an... Sae pak.. lanjutkan...

    ReplyDelete

Terimaksih telah berkenan membaca tulisan ini, komentar anda sangat saya hargai. Semoga ada manfaatnya. amin..

𝗥𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗞𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻

𝘒𝘦𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘴𝘰𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪...