[Motivasi dalam Menuntut Ilmu]
Subadi
] كلا ترم علما وتترك التعب [
“ Jangan menginginkan suatu ilmu, jika tidak mau bersusah
payah [ untuk mendapatkannya]”, bait nadzam ke 99 bagian 2, al-Imriti.
Sungguh,
sebenarnya saya merasa malu menulis topik ini, mengaca pada diri sendiri yang
sarat akan kemalasan, rasanya kurang tepat jika harus membuat tulisan yang
isinya sarat motivasi, apalagi tentang kerja keras dalam menuntut ilmu. Mungkin,
jika saya telah menyadarinya sejak jauh-jauh hari, saat masih masih duduk di bangku
sekolah dulu, sangat mungkin ceritanya akan berbeda.
Rasanya hanya penyesalan, kenapa dahulu tidak pernah sadar
bahwa untuk meraih kesuksesan dalam belajar, ada satu prasyarat utama yang
tidak boleh ditinggalkan. Ya, untuk menghasilkan ilmu yang banyak hanya dapat
dicapai dengan ketekunan dan kerja keras dalam belajar. Meskipun demikian, juga
tidak harus menjadi masalah, ketika saya menyadari bahwa waktu belajar,
sejatinya tidak hanya terbatas di saat waktu masih remaja saja. Tetapi,
bukankah waktu belajar itu sepanjang hayat ? Iya, menuntut ilmu dimulai dari
ayunan sampai ke liang lahat. Artinya, selama kita masih bernafas, tidak ada kata terlambat
untuk terus belajar, menuntut ilmu.
Topik ini, semestinya diuraikan oleh orang-orang yang
telah menikmati kesuksesan mulia dalam proses belajarnya. Untuk menyuntikkan motivasi kepada
para remaja dan pelajar yang masih mengenyam bangku sekolah, kususnya. Tetapi yakinlah, bahwa
tulisan ini semata-mata proses belajar menulis, atau istilah familiarnya “belajar
ber-olah kata”. Kira-kira demikian. Maka dari itu, tidak usah
diperdebatkan, apakah isinya hanya sebatas opini, atau bahkan cerita fiksi
semata, yang tak pernah terjadi di alam nyata. Ini murni belajar menulis, menata kata-kata sedemikian rupa, mumpung waktu dan kesempatan masih terbuka lebar, ramai-ramai lagi, dan bahkan
berbonus sesuatu yang sangat bermanfaat, ilmu, kebahagiaan, wawasan,
saudara, dan masih banyak lagi. Di mana lagi kalau bukan di Ma’arif
Menulis.
Oke, kembali ke topik. Sedikit menyinggung soal kitab
nahwu. Saya dapat memastikan, bagi siapa saja yang pernah belajar ilmu alat [nahwu
dan sharaf] di bangku madrasah diniyah
maupun di pesantren, pasti tidak asing dengan kitab Nadzom Imriti. Kitab
nahwu [biasa disebut sebagai abul ilmi, ayahnya ilmu] yang satu tingkat
lebih tinggi dan luas penjabarannya dari kitab nahwu Matan Jurimiyah buah
karya Syekh Muhammad As-Shanhaji. Kitab Nadzom Imriti dikatakan
lebih luas jabarannya karena ia memang penjelasan dari Matan Jurumiyah itu
sendiri. Sebagaimana pengalaman pribadi, Matan Jurumiyah diajarkan
di bangku kelas 5 ibtida’ sedangkan Nadzom Imriti diajarkan di kelas 6
ibtida’. Jika Matan Jurumiyah berupa teks sederhana, Nadzom Imriti berupa
bait-bait nadzam. Tentu, di kelas berapa dua kitab itu disajikan, sangat tergantung
madrasah masing-masing.
Menapaki tangga ilmu alat, yang mulai dari kedua kitab
tersebut, sudah menjadi maklum bagi warga pesantren. Menuntaskan kedua
kitab itu, semata-mata sebagai dasar memahami ilmu alat, kususnya ilmu nahwu. Dan
ini, sudah menjadi keharusan bagi santri, memahaminya mulai dengan cara dihafalkan,
atau hanya mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya, sangat tergantung dengan nidham
madrasah masing-masing. Tangga ilmu alat –nahwu- selanjudnya adalah kitab
Alfiyah Ibni Malik, sebuah maha karya dalam bidang ilmu nahwu yang sangat komprehensif,
ia berupa nadzam yang berisi 1002 bait, kitab ini juga disyarahi [dikomentari] oleh
Syekh Bahauddin 'Abdullah bin 'Aqil, al'Aqli, al-Mishri,
al-Hamdani, dengan nama kitabnya Syarah Ibni Aqil.
Santri [pelajar], jika ingin sukses dalam studinya, tak
lain ihtiyar yang harus diutamakan adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Tak ada
cara lain, selain hanya belajar dengan sungguh-sungguh. Menyadari akan mulianya
ilmu, berarti menyadari pula akan posisi ilmu, ilmu tidaklah berada di bawah,
tetapi ilmu itu posisinya sangatlah tinggi. Sehingga meraihnya pun butuh
keseriusan bahkan bersusah payah. Ilmu yang tinggi, bisa kita ibaratkan sesuatu
yang bergelantungan di tempat yang tinggi, sehingga untuk mendapatkannya perlu
ihtiyar mamanjat, atau bahkan menggunakan tangga yang kokoh sehingga kita bisa
meraihnya. Berbeda jika, ilmu itu nilainya rendah, pasti mendapatkannya pun menjadi
gampang dan mudah, ibarat buah yang terlalu matang di pohon, berubah rasanya
dan kemudaian jatuh ke tanah, pasti untuk mendapatkannya sangat mudah, kita
tinggal mengambil saja, tanpa harus bersusah payah, dan tanggapun pasti tidak
dibutuhkan. Makannya ilmu itu, nilainya tinggi, sehingga jika ingin sukses
mendapatkan ilmu, tak ada cara lain, kecuali hanya dengan belajar
sungguh-sungguh, da’anya juga tidak boleh luput, bahkan disertai tirakat.
Kebanyakan orang, [termasuk saya], cita-citanya setinggi
langit dan harapannya besar, tetapi
minim ihtiyar untuk meraihnya, dapat dipastikan tidak akan sampai pada tujuan
yang dicita-citakan. Mengagumi seseorang yang sukses mulia itu perlu, akan
lebih bermakna lagi, jika kita mau meneladani proses yang telah menghantarkannya
pada kesuksesan itu, akan jauh lebih penting bagi kita. Jangan hanya melihat
hasilnya, tetapi lihat dan tirulah prosesnya. Berat? Kayaknya pasti.
Soal kesungguhan belajar ini, rata-rata orang yang telah
sukses itu, dalam prosesnya memang dilalui dengan penuh semangat dan bersusah
payah. Sebagai contoh, As-Saroksy hampir tidak pernah tidur di malam
hari, begitu juga Ziyad bin Hasan, malam-malamnya habis hanya untuk
belajar. Namun ada yang lebih spektakuler lagi, yaitu Shahibul Adz-Dzakhair
[pengarang kitab adz- Dzakair], yang punya nama lengkap Mujli bin Juma’i
al-Makhzumi, salah satu fuqaha’ Safi’iyah min ghoiri Syakhin, tanpa guru
atau otodidak. Beliau ini, menjadi fuqoha’ yang terkenal dengan bermodal bondo
nekat. Akan tetapi, kerja keras dan kesungguhannya dalam belajar, telah mampu
mengantarkan ketiga sosok itu, kepada kesuksesan menjadi ahli fikih yang
perhitungkan di masanya. Kisah ketiga orang alim ini, saya ambil dari buku Rahasia
Sukses Fuqaha’, M. Rodlwan Qoyyum Said, 99.
Sebenarnya, banyak orang sukses di sekitaran kita, yang
sering berbagi tip dan pengalamannya yang bisa kita teladani. Semisal, orang
yang sekarang menjadi penulis terkenal, karya-karyanya tidak hanya banyak
tetapi juga bermutu, karena kegigihan dan ketekunannya membaca dan menulis,
akhirnya berbuah manis dengan kesuksesan mulia. Proses yang dilalui juga tidak
ringan, butuh niat yang kokoh dan konsistensi yang tinggi. Ia telah mewajibkan
dirinya, bahwa setiap hari harus membaca minimal 10 halaman buku, dan setiap
hari tanpa absen harus menulis minimal 5 paragraf, dan lain sebagainya, tiada
hari tanpa belajar, membaca, dan menulis secara istiqamah. Kiranya, tak berlebihan jika saya ikut menegaskan, bahwa untuk
menjadi ‘Alim dan sukses mulia itu, butuh kerja keras, komitmen, istiqomah, dan
ketekunan dalam prosesnya. Sebagaimana
dipesankan Shahibul Imriti, Syekh
Syarifuddin Yahya al-Imriti di dalam
bait Nadhamnya di atas tersebut.
“Jangan menginginkan suatu ilmu, jika tidak mau bersusah
payah [untuk mendapatkannya]” Wallahu a’lam.
03 Juni 2020, Punjul-Karangrejo-Tulungagung.
Bismillah... Sinau..
ReplyDeleteLanjutken....
DeletePernah membaca Karya,al-sarakhsy berjudul al-mabsut,. Meskipun hanya sekilas,. Hehehe,.
ReplyDeleteDan memang termasuk tirakat, menurut saya adalah mengalahkan rasa malas,.
Njh to pak.. Kata teman2 yang suka tirakat banyak manfaat nya...
ReplyDeleteTirakate melek...👍👍👍
ReplyDeleteKui inspirasi nya dari anda Kang Dosen... Perjuangan berdarah2mu nyata2 membuahkan hasil....
DeleteLuar biasa... Dapat utk motivasi diri... Kalau ingin berhasil ya harus ikhtiar bukan bermalas2an... Sae pak.. lanjutkan...
ReplyDeleteHehe.. Bareng2 njih Pak....
Delete