[corat-coret, konvoi, pesta-pora, cerminan budaya murahan] |
[Lagi-Lagi Corona Mengingatkan Kita]
SUBADI
Saya
hanya membayangkan, sesuatu hal yang datangnya membawa bencana saja, jika kita
mau meluangkan waktu sejenak untuk berfikir, akan kita temukan
hikmah-hikmah yang be-tebaran di balik setiap kejadian itu. Apalagi
jika yang datang itu adalah hal positif berupa anugerah dari Allah, mestinya
akan lebih kaya lagi hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil darinya, mawas
diri, bersyukur, mempertahankan prestasi, semangat berbagi, semakin mendekatkan
diri kepada Allah, dan lain-lain, misalnya.
Banyak
sekali, penegasan para Da’i dalam ceramahnya, mereka banyak menguraikan
hikmah di balik setiap musibah yang sedang menimpa umat manusia. Bahkan, hampir
semua orang bijak, juga ramai-ramai menorehkan hasil refleksinya atas
suatu peristwa yang berupa musibah itu, dalam tulisan-tulisan mereka. Dari
sudut pandang positif mereka mampu menghadirkan karya yang bisa
mencerahkan sekaligus mengingatkan umat, mungkin itulah bagian dari keutamaan ulil
albab.
Banyak
tulisan, yang memungkinkan untuk kita baca, mulai dari artikel, status
Facebook, dan hasil refleksi, yang mencoba membaca musibah dan menemukan hikmahnya , misalnya wabah
Corona. Dengan hadirnya Corona, orang akhirnya menyedari bahwa menjaga
kebersihan menjadi hal yang sangat penting. Anak sekolah akhirnya harus belajar
dari rumah, orang tua akhirnya menyadari bahwa rumah juga berfungsi sebagai
sekolah, pusat ilmu. Jika issue yang kita dengar, Corona disebabkan dari
hewan kelelawar yang dimakan orang, sehingga virus corona bertransmisi inang
ke tubuh manusia, kemuadian orang sadar bahwa apa-apa yang diharamkan itu pasti
membawa malapetaka bagi yang memakan. Kemudian bencana alam banjir melanda
begitu dahsyat, yang diakibatkan hutan gundul dan membuang sampah sembarangan,
kemudian akhirnya orang baru menyadari bahwa menjaga lingkungan hidup itu menjadi
penting dan harus diperhatikan. Sungguh, masih banyak lagi hikmah-hikmah
di balik musibah-musibah yang lain.
Bismillah,
pada kesempatan ini, saya ingin mencoba
menguraikan fenomena yang kurun beberapa tahun terakhir ini, sedang
marak dan seakan menjadi budaya [tradisi] tersendiri di kalangan pelajar,
kususnya anak-anak SMA. Ya, fenomena itu berupa Euforia lulus sekolah, yang tidak dihiasi dengan kegiatan positif, melainkan
diisi dengan kegiatan yang sarat akan nilai-nilai negatif, bahkan menyimpang
dari tatanan budaya ketimuran dan jauh dari nilai-nilai luhur agama Islam.
Seakan
sudah menjadi tradisi, pelajar-pelajar di perkotaan setiap kali lulus
sekolah melakukan pesta-pora yang berlebihan. Konvoi, mencorat-coret seragam
sekolah dengan cat dan pilox, rambut dicat warna warni, baju yang disobek-sobok
tak karuan bentuknya, tak puas dengan semua itu, tembok-tembok juga tak luput
dengan coretan yang tak berguna, wajah pun juga ikut diwarna, itulah beberapa
fonomena yang kerap kita lihat di media. Dan mirisnya, yang demikian itu kerap
kali kita lihat setiap lulus sekolah. Sungguh
disayangkan.
Mungkin
[semoga saja salah], tradisi
[atau lebih tepatnya aksi] tersebut dianggap sebagai pelepasan semua beban
yang selama ini bersemayam di pikiran mereka. Mereka seakan bebas dari tugas
berat belajar di sekolah, serta rutinitas lain yang berjubel dan membosankan, seperti
bangun bagi untuk bergegas pergi sekolah, mengerjakan tugas-tugas rumah, atau
bahkan tidak akan lagi bertemu dengan guru yang dianggapnya killer, dan
rutinitas lainnya. Mereka merasa seakan bebas dari semua itu, hari kelulusan
laksana hari kemerdekaan dari keterebelengguan belajar di sekolah. Merdeka !
Saya
tegaskan, kebahagiaan lulus sekolah itu wajar, dan bahkan layak untuk
disyukuri. Saya bisa menyatakan seperti itu, karena juga pernah lulus sekolah, merasakan
bahagianya bisa lulus sekolah. Jika dulu prasyarat kelulusan sangat ditentukan oleh
nilau UN, sehingga segala cara belajar kita tempuh, demi menyandang predikat lulus
sekolah. Menjelang ujian, seakan semuanya tidak penting, yang tergiang
hanya “harus lulus, wajib lulus”. Malu jika gak lulus. Sangat wajar, setelah ujian
selesai, kemudian para pelajar merima informasi bahwa mereka dinyatakan lulus
sekolah, sehingga luapan kegembiraan itu muncul reflek dan hendak
berpesta-pora.
Hemat
saya, semestinya para pelajar,
bisa menyadari dan ingat bahwa lulus sekolah bukanlah berarti terbebas dari
beban yang berat. Karena pendidikan selanjudnya telah menunggu di depannya,
pendidikan belum selesai. Masih ada tingkatan bangku sekolah yang lebih tinggi,
yang SMP ditunggu bangku SMA, yang SMA di tunggu bangku Kuliah, begitu dan
seturusnya. Karena, jika para pelajar menganggap sekolah adalah beban atau
sekolah berarti keterbelengguan, maka akan sangat mungkin semangat untuk
menuntut ilmu dan meneruskan sekolah menjadi kendor dan malas. Itulah,
kira-kira efek negatif euphoria lulus sekolah, yang seharusnya tidak
menjadi tradisi para pelajar bangsa ini.
Ada
yang yang perlu diketahuai oleh para pelajar, kususnya, bahwa
kegembiraan atau euphoria yang diaktualisasikan dalam wujud
mencorat-coret seragam sekolah, men-cat rambut warna-warni, dan menyobek-nyobek
baju itu sejatinya bukanlah ajaran Islam, bahkan sangat bertentangan. Islam
mengajarkan syukur, dengan tidak menyia-nyiakan harta, tidak merusak, dan
bersikap tawadhu’. Bagi saya, aksi demikian itu - mencorat-coret seragam
sekolah, men-cat rambut warna-warni, dan menyebek-nyobek baju- sama
sekali tidak mencerminkan rasa syukur. Malahan, aksi seperti itu
termasuk menyia-nyiakan harta dan juga cermin sifat kesombongan.
Sungguh,
Islam mengajarkan syukur tatkala kita
mendapatkan keberhasilan dan kebahagiaan, bahkan untuk selalu bersyukur, kita
tidak harus menunggu bahagia dan berhasil itu terlebih dahulu menghampiri kita.
Sebab, karena dengan syukur, Allah justru akan menambahkan nikmatNya kepada kita.
Tetapi sebaliknya, jika kita enggan bersyukur atas segala nikmat yang telah
Allah berikan, Allah akan mengazab kita, dengan azab yang amat pedih. Ini lebih
jelas sudah ditegaskan oleh Allah pada Q.S. Ibrahim, ayat 7. Saya yakin
ayat tersebut sudah tidak asing lagi ditelinga kita.
Lantas
pertanyaan adalah, apa yang musti dilakukan oleh pelajar yang baru lulus
sekolah ?. Bagi saya jawabanya sederhana saja, mereka hendaknya bersyukur
kepada Allah dengan jalan yang benar. Terus jalan yang benar itu seperti
apa? Ya, pokoknya apa saja, yang terpenting tidak menyimpang dari
nilai-nilai luhur, seperti sujud syukur, gelaran do’a syukur bersama, sedekah,
men”traktir” teman, beribadah lebih rajin lagi, dan hal-hal positif
lainnya. Jika itu, terlalu berat, sejatinya menghindari aksi-aksi euphoria
seperti yang telah dicontohkan di atas itu, sudah lebih dari cukup. Apalagi,
jika mau menggunakan waktu yang ada dengan aktivitas positif dan amal
saleh. Pasti akan lebih bermanfaat, lebih diridhai orang tua dan guru, sehingga
Allah pun ridha.
Kenapa
ini menjadi penting? Karena
dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmatNya, mungkin beberapa kemudahan
akan didapat oleh pelajar itu, seperti kemudahan melanjudkan sekolah, baik
mendapatkan sekolah yang bermutu atau biaya untuk sekolah, rezeki.
Tetapi sebaliknya, jika lulus sekolah dirayakan dengan pesta-pora, dengan aksi
yang bertentangan dengan ajaran agama itu, bisa jadi Allah akan menimpakan azab
kepadanya, dengan kesulitan melanjudkan studi, sudah sulit mendapat sekolah
yang bermutu, kemudian ditambah kesulitan biaya lagi, komplit sudah.
Dalam hal ini mawas diri, perlu untuk direnungkan.
Yang
tidak kalah penting, bagi saya adalah, sudah semestinya seorang pelajar
yang baru saja menimba ilmu, setelah lulus semestinya mempunyai budi pekerti
yang luhur, berbudi mulia. Karena tindakan corat-coret dan sejenisnya itu
adalah bagian dari budaya yang rendah, yang sudah selayaknya tidak dilakukan
oleh orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan, karena orang yang
terpelajar seharusnya memiliki budaya yang tinggi dan saleh. Euphoria itu,
disamping merupakan budaya rendah juga termasuk cerminan akhlak madzmumah,
yakni sifat sombong. Mereka beranggapan bahwa kelulusan yang mereka raih itu,
seakan-akan murni usahanya sendiri. Yakinlah, seluruh keberuntungan
manusia di muka bumi ini, tak lain karena kehendak Allah. Maka dari itu, bersyukur
kepadaNya adalah sebuah keniscayan.
Ya,
saya tahu, prasyarat
kelulusan tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jika dulu
ditentukan oleh nilai UN, kini dengan bergulirnya kebijakan baru “merdeka belajar” prasyarat
kelulusan lebih longgar dan lebih mudah. Sehingga, untuk lulus sekolah, seakan tidak
menjadi tantangan berat bagi para pelajar. Dan kesempatan euphoria lulus
sekolah kemungkinan terjadi juga sangat kecil. Apalagi lulus sekolah di masa
pandemi corona seperti saat ini, kayaknya aksi euphoria seperti tahun-tahun
lalu, sama sekali tidak akan kita jumpai
di tahun ini. jika boleh berandai-andai, mungkin pandemi Corona yang
berkepanjangan ini, bisa jadi termasuk cara Allah mengingatkan kita, bahwa
euphoria lulus sekolah yang berlebihan itu harus dihentikan.
Dan
mohon maaf jika judulnya terlalu boombastis. Alhamdulillah. Terlepas alasan apapun, yang hendak saya
teguhkan adalah, Setiap anugerah dan keberhasilan yang kita peroleh, harus kita sadari bahwa semua itu, semata-mata kehendak
Allah, yang musti kita syukuri dengan cara-cara yang baik dan benar. Itu saja, Semoga bermanfaat.
02
Juni 2020, Punjul- karangrejo- Tulungagung.
Semoga semua bisa mengambil hikmah dari virus ini.
ReplyDeleteAamiin....
DeleteAman aman....
ReplyDeleteSemoga menjadi pertanda awal yg baik...
ReplyDeleteEuforia pelajar tanda kemenangan atas ujian yg jadi beban mereka terhenti dan terkubur bersama Covid-19
Aamiin...
DeleteMantab... Semoga lulusan Corona ini bisa bersaing, bersanding dan sukses di jenjang pendidikan selanjutnya... Aamiin
ReplyDeleteAamiin....
Delete