google-site-verification=a29cQDLicXmx_KpxGtFuPjFzKNqoMZ3FEdNxkyQfTTk Kang Badi': SELAYANG PANDANG KISAH RAMADHAN MASA KECIL

SELAYANG PANDANG KISAH RAMADHAN MASA KECIL


( Di Dusun Gunung Kembar Desa Tawing Kecamatan Munjungan )
Subadi
 
Gemuruh suara Jedor, kentongan dan Bedug begitu menggelegar. Terdengar nun jauh hingga ladang-ladang dan perbukitan. Mengingatkan semua orang bahwa Ramadhan besuk akan tiba. Langgar-langgar dan masjid-masjid dibersihkan sampai tak tertinggal noda dan debu bertaburan, bersih sekali. Dinding-dinding Mushola dan Masjid yang catnya sudah mulai pudar kembali dicat ulang hingga terlihat semakin terang. Rumah-rumah juga dibersihkan dengan penuh riang gembira. Seluruh anggota keluarga bahu membahu membersihkan rumah. Pagar-pagar pun tak luput ikut dibersihkan dan disempurnakan dengan taburan cat yang serba putih-putih. Tanah makam yang biasanya sepi menjadi ramai penuh dengan lalu lalang orang-orang. Tradisi nyekar/geren menjelang Ramadhan datang. Semerbak harum bau bunga dan wewangian yang bertaburan di atas makam-makam. Sekitaran makam pun bersih dari rerumputan dan ilalang. Peziarah memanjatkan do’a untuk arwah-arwah leluhur agar semakin tenang di alam barzah. Bacaan Yasin dan Tahlil pun terdengar merdu bak nyanyian. Sebagai wujud kasihnya yang hidup untuk semua mendiang. Penuh harap semua berubah menjadi doa dan pahala, peringan siksa dan pemberat timbangan amal kebajikan. Untukmu para leluhur. Oh indahnya hari itu, semua orang riang gembira. Mulia dari yang kecil hingga yang tua. Semua senang dan berbahagia menyambut datangnya bulan seribu kemuliaan, bulan Ramadhan.
Aku termasuk anak yang tidak suka rewel dan bawel, selalu menurut apa perintah Bapak dan Ibu. Hari-hariku berjalan normal layaknya hari-hari biasa. Sekolah, ngaji di TPQ, ngaji di Madrasah Diniyah, bermain bola dan tak jarang juga ikut ke ladang dan ke sawah sesekali waktu. Tentunya bersama Bapak. Jika selama bulan Ramadhan kegiatan di sekolah relatif  berkurang baik materi dan lama belajarnya. Yang bisanya pulang sekolah pukul 12.00, kini pukul 11.00 sudah sampai di rumah. Berbeda dengan kegiatan ngaji yang relatif bertambah baik durasi waktu belajarnya, kitab yang dikaji dan waktu-waktu belajarnya. Sebut saja, sorogan Al-qur’an biasanya dimulai pukul 13.00, kini selepas Shalat Dhuhur, kira-kira pukul 12.00 lebih sedikit sudah dimulai. Pada hari-hari sebelumnya belajar di madrasah mengalir mengikuti jadwal yang ada, kitabnya sama dan tiap minggu berulang sampai katam hingga waktu ujian tiba. Berbeda dengan saat bulan Ramadhan. Kegiatan ngaji bukan lagi berada di kelas Madrasah, melainkan ngaji langsung dengan Pengasuh di kediamannya. Ada dua waktu ngaji yang musti aku ikuti. Pertama, setelah Shalat Ashar hingga selesai menjelang Maghrib. Yang kedua, ngaji kitab yang waktunya setelah shalat Tarowih. Saya sangat bersyukur mempunyai seorang guru seperti Kyai Warino, yang akrab juga dengan panggilan Mbah War. Beliau adalah sosok yang sangat sederhana dan penguasaan ilmu agamanya sangat luas. Beliau adalah lulusan Pondok Pesantren Hidayatuttulab Kamulan Trenggalek, Pondok Tengah. Yang paling nampak dari kepribadian beliau adalah, kesederhanaan, kesabaran, kedisiplinan dalam mengajar, dan sifat wara’nya. Dan kini beliau masih aktif dan istiqomah dalam menebar ilmu kepada anak-anak di kampung. Tepatnya di Dusun Gunung Kembar Desan Tawing Kecamatan Munjungan. Beliau mengajar membaca Al-qur’an dan Ustadz di Madrasah Diniyah. Dari Mbah War lah utamanya, dasar-dasar ilmu agama Aku dapat, terutama ilmu fikih, nahwu dan akhlak. Selain Kyai Warino tentu masih banyak lagi guru-guru ku yang juga membimbing dan mengajariku dasar-dasar ilmu yang bermanfaat. 
Ada jenis permaianan yang hanya bisa dijumpai saat bulan Ramadhan. Yang bisa dipastikan jarang dijumpai di bulan-bulan yang lain, kecuali di saat perayaan Agustusan. Permainan itu adalah Dor-doran dan Pandemen, bisa kita sebut dengan meriam bambu dan meriam yang di tanam di tanah/ pandemen. Hanya membutuhkan bambu yang sudah tua dan karbit saja sebagai modal utama untuk membuat mainan ini. Mainan yang menantang andrenalin ini acap kali juga membawa mala petaka bagi yang memainkanya. Mata yang terkena percikan karbit dan tangan yang terbakar pernah dialami oleh sebagian teman kala itu. Yang membikin lebih semangat lagi, permainan itu ketika dimainkan dengan anak-anak dusun tetangga. Adu gengsi dengan kerasnya suara yang ditimbulkan oleh meriam bambu itu. Bak saling serang serdadu dan bom di medan perang. Peristiwa itu bagi kami anak-anak desa merupakan kepuasan tersendiri yang cukup membahagiakan. Selain mainan itu yang sering kita buat adalah merakit mercon dengan ukuran yang lebih besar dari yang dijual di pasaran. Hanya bermodal kertas bekas, lem, dan serbuk mercon yang mudah kita jumpai di toko-toko kala itu. Sawah dan tanah lapang jadi tempat yang pas untuk menyalakan mercon-mercon itu. Duarrrrr ! letusan yang sangat keras bak  letusan granat di medan perang. Berbeda dengan sakarang, membunyikan mercon sudah dilarang apalagi sampai merakit. Asik sekali bukan? Tentunya.
Yang lebih menggembirakan lagi bagiku adalah saat-saat menjelang maghrib tiba. Setelah seharian menahan lapar dan haus. Paginya sekolah, siang sampai sore ngaji, dan tak jarang juga ke ladang untuk menemani Bapak. Mencangkul, dangir, ngarit, mencari kayu, sampai membantu Bapak memetik buah kelapa biasa mengisi hari-hari semasa kecil. Saat sedang puasa pun sesekali juga tak luput dari kegiatan itu. Hidup keras semasa kecil sudah biasa aku jalani. Apalagi anak seorang petani dan nelayan. Aku terbiasa ikut membantu Bapak apapun pekerjaannya. Karena masih anak-anak kadang di benak juga sering terbesit rasa capek, marah, berontak dan lain sebagainya. Tapi kini hanya rasa syukur yang tak terkira punya pengalaman seperti kala itu. Ternyata hidup itu butuh perjuangan keras untuk memenuhi kebutuhan dan hidup layak. juga modal untuk hidup bersosial. Orang Tua ternyata sedang memberi pelajaran hidup yang tidak boleh hanya berpangku tangan. Harus bekerja keras jika ingin meraih apa yang dicita-citakan. Terima kasih Bapak. semoga tetesan keringatmu menjadi butir-butir pahala bagimu. Aamiin.
Ada tradisi yang sampai saat ini masih berjalan hampir tak ada perubahan. Tradisi itu disebut Maleman. Maleman berlangsung mulai malam-malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Setiap rumah bebas memilih malam ganjil untuk mengadakan maleman sesuai keinginan. Bisa malam 21, malam 23 dan seterusnya sampai malam ke 29, malam yang terkahir. Maleman biasa ditandai dengan kegiatan masak-masak yang pasti masakannya berbeda dengan hari-hari sebelumnya dengan beraneka ragam lauk-pauk. Tujuan utama dari maleman adalah bersedekah makanan. Yang dibagikan kepada tetangga, sanak-saudara dan utamnya kepada orang-orang tua, Embah dan Buyut serta saudara-saudaranya. Aku selalu mengantar makanan itu kususnya ke rumah saudara Bapak dan Ibu. Juga ke rumah Embah dan saudaranya. Pergi mengantar sedekah maleman itu dengan penuh semangat. Semangat sekali. Ada harapan besar di pikiran ini, rasa tamak. Tapi tak apalah, namanya juga anak-anak. Hampir seluruh penghuni rumah yang ku antari makanan itu selalu memberi uang, tak seberapa banyak sih, tetapi ada kepuasan sendiri yang aku peroleh. Yaitu mendapatkan Sangu. Terimakasih bibi, terima kasih paman,  terima kasih Embah. Pelajaran yang sangat berharga yaitu semangat saling berbagi demi kerukunan sanak saudara. Menyambung tali silaturrahmi dengan sanak famili tidak boleh terputus. Karenaya rahmat Allah pun akan terus tersambung dengan kita, tanpa putus-putus jika tali silaturrahmi itu terus dijaga. Hebat bukan !
Malam-malam Ramadhan, sehabis shalat Tarowih aku dan teman-teman mengaji kitab walau hanya sebentar. Sambil menanti giliran tadarus Al-qur’an. Karena giliran pertama untuk orang-orang tua. Sekitar 45 menit sampailah giliran kami, waktu tadarrus untuk anak-anak sampai larut malam. Ada kisah menggelitik yang tak terlupakan saat tadarus bersama teman-teman. Mengingat kemampuan kami dalam membaca Al-qur’an juga beragam, ada yang lancar juga ada yang kurang lancar (blekak-blekuk). Saat menyimak teman yang sedang membaca, sampailah pada ayat (`Ain-Sin-Qaf :: عسق) yang sedang dibaca ‘Aa Saa Qoo...  Saat itu yang sedang menyimak bukan hanya aku tetapi juga ada bebrapa teman yang lain. Kami sesegera mengingatkan sebagaimana biasanya jika terjadi kesalahan baca. Kami mencoba memberi contoh bacaan yang seharusnya. Lantas dia berhenti membaca. Kemudian tetap dibaca sama seperti semula, sampai berulang tiga tanpa mengikuti bacaan yang kami contohkan. Karena memang teman yang satu ini lumayan unik, berbeda dengan teman-teman yang lain. Uniknya adalah ada sedikit rasa keminter/ merasa lebih tahu. Dan tidak mau dibenarkan dengan tetap pada pendiriannya. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan sedikit tertawa. Dilihat dari usia memang teman yang sedang membaca itu lebih tua dari kami. Mungkin ada rasa gengsi atau alasan lain yang ada di benaknya. Aku tidak tahu persisnya.  Hingga tetap membaca ‘Aa Saa qoo. Yaa mungkin disebabkan kekurang tahuannya atau sekilas hanya melihat harokat yang ada di atas huruf-huruf itu. Tak apalah... yang penting kita terus belajar belajar. Ada hikmah di balik kisah ini. Ungkapan yang populer bagi kita “ Undhur Maa Qola Walaa Tandzur Man Qolaa” kayaknya tepat untuk menggambarkan peristiwa tersebut. Sebagai manusia kita hendaknya selalu membuka diri untuk menerima kritik dan saran tanpa melihat siapa yang menyampaikan. Entah orang yang lebih tua atau yang lebih muda dari kita. Semestinya yang perlu diperhatikan adalah apa yang diucapkan bukan siapa yang menyampaikan. Jika baik dan benar sudah selayaknya kita menerima dengan lapang dada. Meskipun berasal dari anak kecil sekalipun.
Saat bulan Ramadhan, hampir seluruh malam Aku tidur di serambi Mushola bersama dengan teman-teman. Ini hanya akan kami bersama-bersama alami pada bulan Ramadhan saja. Bermain remi, menata alat ronda dan bercanda gurau. Tak jarang juga kita nglayap atau berjalan-jalan di malam hari, ke sungai, ke rumah teman dan kadang juga memetik buah jambu dan rambutan milik tetangga. Saat itu serasa biasa-biasa saja asal tidak berlebihan. Padahal perbuatan itu tidak baik untuk dilakukan karena tergolong perbuatan tercela, mencuri ringan. Hehehe... mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa semasa kecil itu. Aamiin...
Walhasil, banyak hikmah yang aku dapat dari semua perjalanan dan sejumlah kegiatan saat itu. Zaman sudah berubah, sehingga fenomena tidur di mushola sudah jarang ditemukan. Bukan berarti anak-anak sekarang tidak punya pengalaman saat bulan Ramadhan, hanya saja model kegiatan dan pengalamannya saja yang berbeda. Berbeda karena ruang dan waktu yang jelas tidak sama. Berbeda karena cara-cara yang mereka gunakan pun juga tidak sama. Intinya, semua punya pengalamannya masing-masing sesuai dengan karakteristik lingkungan dan zamannya. 

Senin, 27 april 2020. Pujul Karangrejo Tulungagung

3 comments:

Terimaksih telah berkenan membaca tulisan ini, komentar anda sangat saya hargai. Semoga ada manfaatnya. amin..

𝗥𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗞𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻

𝘒𝘦𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘴𝘰𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪...