( Di Dusun Gunung Kembar Desa Tawing Kecamatan
Munjungan )
Subadi
Gemuruh suara Jedor, kentongan dan Bedug begitu
menggelegar. Terdengar nun jauh hingga ladang-ladang dan perbukitan.
Mengingatkan semua orang bahwa Ramadhan besuk akan tiba. Langgar-langgar dan
masjid-masjid dibersihkan sampai tak tertinggal noda dan debu bertaburan, bersih
sekali. Dinding-dinding Mushola dan Masjid yang catnya sudah mulai pudar kembali
dicat ulang hingga terlihat semakin terang. Rumah-rumah juga dibersihkan dengan
penuh riang gembira. Seluruh anggota keluarga bahu membahu membersihkan rumah.
Pagar-pagar pun tak luput ikut dibersihkan dan disempurnakan dengan taburan cat yang serba
putih-putih. Tanah makam yang biasanya sepi menjadi ramai penuh dengan lalu lalang
orang-orang. Tradisi nyekar/geren menjelang Ramadhan datang. Semerbak
harum bau bunga dan wewangian yang bertaburan di atas makam-makam. Sekitaran
makam pun bersih dari rerumputan dan ilalang. Peziarah memanjatkan do’a untuk
arwah-arwah leluhur agar semakin tenang di alam barzah. Bacaan Yasin dan Tahlil pun
terdengar merdu bak nyanyian. Sebagai wujud kasihnya yang hidup untuk semua
mendiang. Penuh harap semua berubah menjadi doa dan pahala, peringan siksa dan pemberat
timbangan amal kebajikan. Untukmu para leluhur. Oh indahnya hari itu, semua orang
riang gembira. Mulia dari yang kecil hingga yang tua. Semua senang dan
berbahagia menyambut datangnya bulan seribu kemuliaan, bulan Ramadhan.
Aku termasuk anak yang tidak suka rewel dan
bawel, selalu menurut apa perintah Bapak dan Ibu. Hari-hariku berjalan normal
layaknya hari-hari biasa. Sekolah, ngaji di TPQ, ngaji di Madrasah Diniyah,
bermain bola dan tak jarang juga ikut ke ladang dan ke sawah sesekali waktu.
Tentunya bersama Bapak. Jika selama bulan Ramadhan kegiatan di sekolah
relatif berkurang baik materi dan lama
belajarnya. Yang bisanya pulang sekolah pukul 12.00, kini pukul 11.00 sudah
sampai di rumah. Berbeda dengan kegiatan ngaji yang relatif bertambah baik durasi waktu belajarnya, kitab yang dikaji dan waktu-waktu belajarnya.
Sebut saja, sorogan Al-qur’an biasanya dimulai pukul 13.00, kini selepas Shalat
Dhuhur, kira-kira pukul 12.00 lebih sedikit sudah dimulai. Pada hari-hari
sebelumnya belajar di madrasah mengalir mengikuti jadwal yang ada, kitabnya sama
dan tiap minggu berulang sampai katam hingga waktu ujian tiba. Berbeda dengan
saat bulan Ramadhan. Kegiatan ngaji bukan lagi berada di kelas Madrasah,
melainkan ngaji langsung dengan Pengasuh di kediamannya. Ada dua waktu ngaji
yang musti aku ikuti. Pertama, setelah Shalat Ashar hingga selesai menjelang
Maghrib. Yang kedua, ngaji kitab yang waktunya setelah shalat Tarowih. Saya
sangat bersyukur mempunyai seorang guru seperti Kyai Warino, yang akrab juga
dengan panggilan Mbah War. Beliau adalah sosok yang sangat sederhana dan penguasaan ilmu agamanya sangat luas. Beliau adalah lulusan Pondok Pesantren Hidayatuttulab Kamulan Trenggalek,
Pondok Tengah. Yang paling nampak dari kepribadian beliau adalah,
kesederhanaan, kesabaran, kedisiplinan dalam mengajar, dan sifat wara’nya. Dan
kini beliau masih aktif dan istiqomah dalam menebar ilmu kepada anak-anak di
kampung. Tepatnya di Dusun Gunung Kembar Desan Tawing Kecamatan Munjungan. Beliau mengajar membaca Al-qur’an dan Ustadz di Madrasah Diniyah. Dari Mbah War lah utamanya, dasar-dasar ilmu agama Aku dapat, terutama ilmu fikih, nahwu dan akhlak. Selain
Kyai Warino tentu masih banyak lagi guru-guru ku yang juga membimbing dan
mengajariku dasar-dasar ilmu yang bermanfaat.
Ada jenis permaianan yang hanya bisa dijumpai
saat bulan Ramadhan. Yang bisa dipastikan jarang dijumpai di bulan-bulan yang
lain, kecuali di saat perayaan Agustusan. Permainan itu adalah Dor-doran dan
Pandemen, bisa kita sebut dengan meriam bambu dan meriam yang di tanam
di tanah/ pandemen. Hanya membutuhkan bambu yang sudah tua dan karbit saja
sebagai modal utama untuk membuat mainan ini. Mainan yang menantang andrenalin
ini acap kali juga membawa mala petaka bagi yang memainkanya. Mata yang terkena
percikan karbit dan tangan yang terbakar pernah dialami oleh sebagian teman
kala itu. Yang membikin lebih semangat lagi, permainan itu ketika dimainkan
dengan anak-anak dusun tetangga. Adu gengsi dengan kerasnya suara yang ditimbulkan
oleh meriam bambu itu. Bak saling serang serdadu dan bom di medan perang. Peristiwa itu bagi kami anak-anak desa merupakan
kepuasan tersendiri yang cukup membahagiakan. Selain mainan itu yang sering
kita buat adalah merakit mercon dengan ukuran yang lebih besar dari yang dijual
di pasaran. Hanya bermodal kertas bekas, lem, dan serbuk mercon yang mudah
kita jumpai di toko-toko kala itu. Sawah dan tanah lapang jadi tempat yang pas
untuk menyalakan mercon-mercon itu. Duarrrrr ! letusan yang sangat keras
bak letusan granat di medan perang. Berbeda
dengan sakarang, membunyikan mercon sudah dilarang apalagi sampai merakit. Asik sekali bukan?
Tentunya.
Yang lebih menggembirakan lagi bagiku
adalah saat-saat menjelang maghrib tiba. Setelah seharian menahan lapar dan
haus. Paginya sekolah, siang sampai sore ngaji, dan tak jarang juga ke ladang
untuk menemani Bapak. Mencangkul, dangir, ngarit, mencari kayu, sampai membantu
Bapak memetik buah kelapa biasa mengisi hari-hari semasa kecil. Saat sedang
puasa pun sesekali juga tak luput dari kegiatan itu. Hidup keras semasa kecil
sudah biasa aku jalani. Apalagi anak seorang petani dan nelayan. Aku
terbiasa ikut membantu Bapak apapun pekerjaannya. Karena masih anak-anak kadang
di benak juga sering terbesit rasa capek, marah, berontak dan lain sebagainya. Tapi kini
hanya rasa syukur yang tak terkira punya pengalaman seperti kala itu. Ternyata hidup itu
butuh perjuangan keras untuk memenuhi kebutuhan dan hidup layak. juga modal untuk hidup bersosial. Orang Tua ternyata sedang
memberi pelajaran hidup yang tidak boleh hanya berpangku tangan. Harus bekerja
keras jika ingin meraih apa yang dicita-citakan. Terima kasih Bapak. semoga
tetesan keringatmu menjadi butir-butir pahala bagimu. Aamiin.
Ada tradisi yang sampai saat ini masih
berjalan hampir tak ada perubahan. Tradisi itu disebut Maleman. Maleman
berlangsung mulai malam-malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Setiap
rumah bebas memilih malam ganjil untuk mengadakan maleman sesuai keinginan. Bisa
malam 21, malam 23 dan seterusnya sampai malam ke 29, malam yang terkahir. Maleman
biasa ditandai dengan kegiatan masak-masak yang pasti masakannya berbeda dengan hari-hari sebelumnya dengan beraneka
ragam lauk-pauk. Tujuan utama dari maleman adalah bersedekah makanan.
Yang dibagikan kepada tetangga, sanak-saudara dan utamnya kepada orang-orang
tua, Embah dan Buyut serta saudara-saudaranya. Aku selalu mengantar makanan itu
kususnya ke rumah saudara Bapak dan Ibu. Juga ke rumah Embah dan saudaranya.
Pergi mengantar sedekah maleman itu dengan penuh semangat. Semangat sekali. Ada
harapan besar di pikiran ini, rasa tamak. Tapi tak apalah, namanya juga
anak-anak. Hampir seluruh penghuni rumah yang ku antari makanan itu selalu
memberi uang, tak seberapa banyak sih, tetapi ada kepuasan sendiri yang aku
peroleh. Yaitu mendapatkan Sangu. Terimakasih bibi, terima kasih paman, terima kasih Embah. Pelajaran yang sangat
berharga yaitu semangat saling berbagi demi kerukunan sanak saudara. Menyambung
tali silaturrahmi dengan sanak famili tidak boleh terputus. Karenaya rahmat
Allah pun akan terus tersambung dengan kita, tanpa putus-putus jika tali
silaturrahmi itu terus dijaga. Hebat bukan !
Malam-malam Ramadhan, sehabis shalat Tarowih aku dan teman-teman mengaji
kitab walau hanya sebentar. Sambil menanti giliran tadarus Al-qur’an. Karena
giliran pertama untuk orang-orang tua. Sekitar 45 menit sampailah giliran kami,
waktu tadarrus untuk anak-anak sampai larut malam. Ada kisah menggelitik
yang tak terlupakan saat tadarus bersama teman-teman. Mengingat
kemampuan kami dalam membaca Al-qur’an juga beragam, ada yang lancar juga ada
yang kurang lancar (blekak-blekuk). Saat menyimak teman yang sedang
membaca, sampailah pada ayat (`Ain-Sin-Qaf :: عسق)
yang sedang dibaca ‘Aa Saa Qoo... Saat
itu yang sedang menyimak bukan hanya aku tetapi juga ada bebrapa teman yang
lain. Kami sesegera mengingatkan sebagaimana biasanya jika terjadi kesalahan
baca. Kami mencoba memberi contoh bacaan yang seharusnya. Lantas dia berhenti membaca. Kemudian tetap dibaca sama seperti semula, sampai
berulang tiga tanpa mengikuti bacaan yang kami contohkan. Karena memang teman yang satu ini lumayan unik, berbeda
dengan teman-teman yang lain. Uniknya adalah ada sedikit rasa keminter/
merasa lebih tahu. Dan tidak mau dibenarkan dengan tetap pada pendiriannya.
Kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan sedikit tertawa. Dilihat dari usia
memang teman yang sedang membaca itu lebih tua dari kami. Mungkin ada rasa
gengsi atau alasan lain yang ada di benaknya. Aku tidak tahu persisnya. Hingga tetap membaca ‘Aa Saa qoo. Yaa mungkin
disebabkan kekurang tahuannya atau sekilas hanya melihat harokat yang ada di
atas huruf-huruf itu. Tak apalah... yang penting kita terus belajar belajar.
Ada hikmah di balik kisah ini. Ungkapan yang populer bagi kita “ Undhur
Maa Qola Walaa Tandzur Man Qolaa” kayaknya tepat untuk menggambarkan
peristiwa tersebut. Sebagai manusia kita hendaknya selalu membuka diri untuk
menerima kritik dan saran tanpa melihat siapa yang menyampaikan. Entah orang
yang lebih tua atau yang lebih muda dari kita. Semestinya yang perlu diperhatikan
adalah apa yang diucapkan bukan siapa yang menyampaikan. Jika baik dan benar
sudah selayaknya kita menerima dengan lapang dada. Meskipun berasal dari anak
kecil sekalipun.
Saat bulan Ramadhan, hampir seluruh malam Aku
tidur di serambi Mushola bersama dengan teman-teman. Ini hanya akan kami
bersama-bersama alami pada bulan Ramadhan saja. Bermain remi, menata alat ronda
dan bercanda gurau. Tak jarang juga kita nglayap atau berjalan-jalan di
malam hari, ke sungai, ke rumah teman dan kadang juga memetik buah jambu dan
rambutan milik tetangga. Saat itu serasa biasa-biasa saja asal tidak
berlebihan. Padahal perbuatan itu tidak baik untuk dilakukan karena tergolong
perbuatan tercela, mencuri ringan. Hehehe... mudah-mudahan Allah mengampuni
dosa-dosa semasa kecil itu. Aamiin...
Walhasil, banyak hikmah yang aku dapat dari
semua perjalanan dan sejumlah kegiatan saat itu. Zaman sudah berubah, sehingga
fenomena tidur di mushola sudah jarang ditemukan. Bukan berarti anak-anak
sekarang tidak punya pengalaman saat bulan Ramadhan, hanya saja model kegiatan
dan pengalamannya saja yang berbeda. Berbeda karena ruang dan waktu yang jelas
tidak sama. Berbeda karena cara-cara yang mereka gunakan pun juga tidak sama.
Intinya, semua punya pengalamannya masing-masing sesuai dengan karakteristik lingkungan
dan zamannya.
Senin, 27 april
2020. Pujul Karangrejo Tulungagung
Mantab kang badi,,, lanjutkan
ReplyDeleteSemoga menginspirasi kader2 masa depan
ReplyDeleteTerimakasih Kang... InsyaAllah...
ReplyDelete