Subadi
Hari ini, Minggu 24 Mei 2020 M, bertepatan dengan 1 Syawal 1441 H, seluruh umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Di tengah masa pandemi Covid-19 yang masih dalam kondisi sangat memprihatinkan, kususnya dapaknya di negeri tercinta Indonesia. Setidaknya 4 hari terakhir, rilis laporan saudara-saudara kita yang terjangkit nyaris mendekati angka seribu tiap harinya. Sungguh angka yang sangat tinggi, yang tak sebanding dengan jumlah saudara-saudara kita yang sembuh. Angka kematian pun juga terus bertambah jumlahnya.
Merayakan Idul Fitri, pada situasi seperti ini pasti tidak terasa maksimal. Jujur rasa bahagia itu ada, tetapi pada saat yang sama rasa sedih juga menyelimuti. Saya juga yakin, bahwa rasa seperti itu, tidak hanya saya yang merasakan, tetapi juga saudara-saudara saya yang seiman, Bapak, Ibu, Kakak, Adik, sanak famili, para sahabat dan seluruh umat islam. Karena Idul fitri tahun ini, sangat berbeda dengan tahun-tahun yang lalu.
Lazimnya, Idul Fitri adalah momentum merajut tali silaturrahmi yang tidak hanya mempertemukan hati, tetapi juga pertemuan fisik, kita bisa menatap, berjabat tangan, bahkan kesempatan spesial untuk berpelukan dengan orang-orang yang kita sayangi, Bapak, ibu dan saudara-saudara kita. Idul Fitri hari ini, tak sedikit seorang anak ada yang tidak bisa -dilarang- bertemu langsung dengan orang tuanya dan keluarganya, sebab dilarang mudik dan karena hal lainnya. Mereka hanya bisa berjumpa, sebatas melihat gambar dan suaranya saja, dari smartfon yang dimiliki. Hari ini yang bisa bertemu langsung, bagi saya adalah sebuah keuntungan yang musti disyukuri, karena banyak saudara-saudara kita yang lain, yang saat ini tidak bisa merasakan bahagianya bertemu langsung dengan Bapak dan Ibunya, sampai sanak familinya. Bersyukurlah.
Saya pribadi, semenjak jauh dari orang tua, mulai tahun 2001 hingga kini, setiap kali Idul Fitri, sesibuk apapun selalu merayakannya di kampung halaman. Selalu pulang kampung, 2/3 hari sebelum lebaran tiba. Kehadiran kami -saya dan saudara kandung- yang tinggal di luar kota itu, sangat dinanti-nanti oleh Bapak dan Ibu. Ini selalu saya sadari sebagai bagian dari wujud bakti kepada kedua orang tua. Ya, memberikan kegembiraan dan kesenangan, sekecil apapun bentuknya.
Kehadiran kami, sungguh tidak hanya hal kegembiraan bagi Bapak dan Ibu, tetapi memang ada tuntunan dari Bapak dan Ibu, yang selalu istiqamah dikerjakan. Tuntunan itu adalah tentang kebiasaan ziarah makam, membersihkan makam dari ilalang, dan berdoa, sebelum kita masuk pada hari Idul Fitri, kita selalu diajak ziarah ke makam Orang tua Bapak dan Ibu, serta beberapa saudaranya yang sudah menghadap Allah lebih dulu, Mereka adalah, Mbah Imam Syafari [ayahnya Bapak], Mbah Katijah/Kotijah [ibunya Bapak], Mbah Sukimin [ayahnya Ibuk], Mbah Usrek [Ibuknya Ibuk], Mbah Tuminah [Orang tua asuh Bapak dan Ibu, ia tidak punya anak, yang saat ini tanahnya menjadi tempat tinggal orang tua saya], dan Mbokde Musriah [kakak perempuan bapak].
Menziarahi makam-makam itu, sugguh tak pernah kami tinggalkan, utamanya saat mau masuk bulan ramadhan, dan menjelang Idul Fitri. Saya bisa bersaksi bahwa Bapak adalah orang yang sangat memperhatikan mereka, sekalipun mereka telah meninggal dunia, itulah bagian dari wujud birrul walidain Bapak kepada orang tuannya.
Idul Fitri hari ini, kesedihannya begitu terasa, apalagi saat mendengarkan kutbah shalat Id di masjid tadi pagi, kutbah yang disampaikan Kyai muda itu [Gus H. Geby - Putra ke Tiga Guru saya K.H. Sirojudin Hasan, Alm,] memberi makna yang sangat dalam, hingga menyentuh lubuk hati saya yang paling dalam, kutbah yang sarat akan makna tujuan puasa, tantangan kita setelah puasa, dan sampai peran serta berbakti kepada orang tua. Terimakasih ya Allah, hari ini Engkau luluhkan hati yang rapuh ini, sehingga air mata pun bercucuran. Allah, Allah, Allah, Ampuni dosa-dosa hambamu yang lemah ini, [saat saya menulis paragraf inipun, cucuran air mata itu, terus membasahi pipi saya].
Saya sadar, karena sedikit pengetahuan yang saya miliki, saya masih mampu berfikir. Inna ma'al 'usri Yusra, setiap kesedihan pasti ada kegembiraan yang menyertai, setiap rasa takut menghantui pasti ada keberanian yang menyertai, di setiap kesempitan yang menghimpit pasti ada kelapangan yang menyertai, di saat sakit sedang mendera pasti ada obat yang bisa menyembuhkan, dan lain sebagainya.
Takbir [Allahu Akbar], Allah Maha Besar, hari ini telah mengajari kita, sekaligus mengingatkan kita akan makna dan hikmah cinta yang hakiki. Bertakbir pada hakikatnya kita telah mengagungkan Zat Yang Maha Agung, Yang Mah Besar. Seorang hamba yang melantunkan Takbir, sejatinya ia sedang mendeklarasikan diri dihadapan Tuhannya akan kekerdilannya sebagai hamba, akan kelemahanya sebagai makhluk yang diciptakan, dan sebagai bukti bahwa seorang hamba adalah sangat kecil dibanding ke Maha BesaranNya. Sekalipun lantunan takbir yang digaungkan itu, tak semerdu takbirnya penyanyi qosidah dan takbirnya para Qori' Internasional. Takbir adalah Takbir, semua takbir akan bermakna asal diiringi dengan niat tulus, ketundukan, dan kepasrahan.
Hari ini, bagi saya takbir adalah obat mujarrab, yang dapat menyembuhkan luka kesedihan di hari yang fitri ini. Takbir telah mengingatkan kita, agar kita tidak terus berlarut dalam kesedihan itu, -karena tidak bisa berjumpa secara fisik dengan orang tua, sanak famili dan teman-teman di kampung halaman- . Dengan Takbir, sesungguhnya kita musti ingat, bahwa kesedihan itu sejatinya tidak berarti apa-apa, bahkan hal yang remeh-temeh di hadapan Allah Ta'ala.
Yang musti kita renungkan adalah, bagaiamana kita kelak di akhirat bisa berjumpa, saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kita cintai itu. Hari ini kita memang tidak bisa bertemu secara fisik, hanya sebatas perjumpaan jarak jauh melalui smartfon kita. Tetapi yakinlah cinta kita kepada mereka, saat ini bukan malah kecil atau surut, akan tetapi rasa cinta itu kian terasa besar dan agung. Percayalah, itulah hikmah di balik kesedihan hari ini.
Seraya berdoa kepada Allah, semoga kelak di akhirat kita dipertemukan dengan orang-orang yang kita cintai [Ayah, Ibu, Saudara kita, famili kita, sahabat kita, dan tentu Guru-guru kita].
Amin. Amin. Amin.
Punjul-Karangrejo, Minggu 24 Mei 2020
Sugeng Riyadi era online
ReplyDeleteNjih mbak.. Sami2...
DeleteAamiin
ReplyDeleteAamiin.
DeleteAmiin
ReplyDeleteAmiin
DeleteTulisan yg penuh nilai spiritual, Yen sabar subur Yen subur makmur. Mohon maaf lahir dan batin
ReplyDeleteSuwun pak... Amin.. Amin...
DeleteAmin...
ReplyDeleteAmin bank... Gak mudik bang.. Jo lali mampir yo, ape tak sangoni...
DeleteMenulis adalah doa
ReplyDeleteNjih Pak.. Menulis adalah doa, dan doa adalah ibadah, jadi penulis dicintai Allah... Amin.
DeleteAamiin...
ReplyDeleteAmin..
Delete