S u b a d i
Jadi teringat
kalimatnya guru herbalis tatkala sinau KHT [Kuliah Herba Tibbunnabawi]
enam tahun silam. Yang isinya adalah “Jadikanlah makananmu sebagai obat,
jika tidak cepat atau lambat kamu akan minum obat”. Semua yang kita makan,
jika tepat sesuai dengan kebutuhan tubuh, teratur, tidak berlebihan, seimbang,
halal, dan bertabur doa, ia [makanan] tidak hanya akan menjadi sumber energi
semata, akan tetapi juga dapat menjadi obat bagi tubuh kita.
Membincang soal
makanan, ada dua kata yang saling bertalian. Kedua kata tersebut adalah “Halal
dan Thayib”. Dapat dipastikan kita sudah tidak asing lagi dengan kedua kata
tersebut. Biasanya kita mendengar dalam kalimat seruan “ Makanlah makanan
yang halal lagi thayib !”. Secara terbalik, berarti kita tidak diminta
untuk makan makanan yang mempunyai sifat berlawanan, yakni haram dan kotor.
Jika kita tengok, kata
“halal” berasal dari akar kata
yang berarti lepas atau tidak terikat. Sebab itu kata “halal” juga berarti boleh. Sedangkan dalam bahasa syar’i
kata “halal” mencakup segala
sesuatu yang diperbolehkan agama. Tegasnya, baik yang bersifat sunnah, anjuran,
mubah, dan bahkan makruh.
Selanjutnya kata “thayib”
dari segi bahasa bermakna lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling
utama. Dalam konteks makanan, kata “thayib” berarti makanan yang tidak
kotor dari segi zatnya, rusak, atau makanan yang dicampuri sesuatu yang najis. Bagi
saya, “thayib” disini berarti makanan
yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik
maupun akal. Ya, makanan sehat, proporsional, dan yang pasti aman.
Setiap manusia yang
diberi kehidupan oleh Allah di muka bumi ini, secara pasti mempunyai tugas yang
tidak ringan, yakni tugas “beribadah, bekerja, dan berjuang fi sabilillah”. Manusia
bisa menjalankan tugas-tugas tersebut tentu membutuhkan energi, daya kekuatan. Tidak
mungkin orang yang lemah fisiknya bisa mengemban tugas tersebut secara maksimal
jika kondisi fisiknya lemah lunglai. Jika pun bisa, hasilnya tentu tidak akan memuaskan. Oleh karena
itu, makan dalam rangka menghimpun energi untuk mengemban tugas mulia tersebut
menjadi sangat penting. Bahkan menjadi keharusan.
Manusia dalam
menjalani hidupnya juga butuh keselarasan antara pemenuhan unsur ruhani dan
unsur materi. Unsur materi atau harta merupakan unsur yang terkait dengan
kehidupan manusia. Tegasnya, menikmati apa yang telah Allah berikan di muka
bumi ini, berupa berbagai macam rezeki dan segala sesuatu yang halal dan
thayib.
Mengenai makanan yang halal
dan thayib ini, sejatinya sudah ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah; 168 yang maknanya “ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang yang
nyata bagimu”. Demikian penegasan Allah soal makananan kepada seluruh manusia,
hanya yang halal dan thayib. Bukan yang lain.
Jika kita mau
memikirkannya, firman Allah itu [al-Baqarah; 168] setidaknya ada tiga
pesan yang bisa kita tangkap. Pertama, Allah telah menyeru tidak hanya
kepada orang mukmin saja, akan tetapi kepada seluruh manusia, “ya ayuhannas”.
Berarti sebuah perintah yang bersifat universal. Kedua, Allah
menyeru untuk makan makanan yang ada di bumi ini yang halal dan thayib [
yang baik, bergizi, dan menyehatkan tubuh]. Ketiga, Allah melarang kita
mengikuti langkah-langkah setan, sebab setan itu musuh yang nyata bagi kita.
Saya yakin, jika
setiap manusia mau menggunakan akal pikiran dan kejernihan hati, akan dapat
membaca dengan jelas apa yang diharamkan oleh agama, yaitu segala sesuatu yang
diharamkan memang kotor menurut fitrah kemanusiaan dari segi materinya. Seperti
bangkai, darah, daging babi, atau sesuatu yang meresahkan hati seorang mukmin,
seperti menyembelih karena berhala, sesuatu yang bersifat spekulasi, dan segala
macam jenis perjudian. Itulah sebagian langkah-langkah setan.
Lebih tegasnya, Allah
tidak menghalalkan kepada manusia kecuali sesuatu yang baik, dan tidak
mengharamkan kecuali sesuatu yang kotor. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah
membolehkan manusia untuk menikmati yang baik-baik dari rezekiNya dan tidak
dituntut apapun kecuali berpegang teguh pada aturan yang Dia halalkan dan
menjauhi segala sesuatu yang menjadi laranganNya.
Sehingga “halal
lagi thoyib” dapat dipahami kita disuruh untuk makan “makanan yang sehat,
proporsional, dan aman”. Yakni makanan yang memiliki zat gizi yang cukup dan
seimbang, serta sesuai kebutuhan, tidak berlebih dan tidak berkurang, dan
menimbulkan rasa aman bagi jiwa dan kesehatan kita. Makanlah makanan yang halal
barangnya, cara memerolehnya, dan cara mengolahnya. Wallahu a’lam bisshawab.
Punjul, 22 Juni 2020.
Suuuip...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
Delete