S u b a d i
Bismillah. Pada tataran sederhana, dikatakan bahwa adil adalah
meletakkan sesuatu pada tempatnya, wadh’u syai’in fi mahallihi. Maka dari
itu, kita sebagai Muslim sudah semestinya saling mengingatkan dalam kebaikan
dan kesabaran. Tentu untuk diri yang lemah ini, juga bagi sesama, seiman dan
sesama manusia.
Mari sekuat tenaga,
berusaha meletakkan sesuatu pada tempatnya, tempat yang selayaknya. Mengerjakan
sesuatu juga pada waktunya. Sebagaimana yang sudah maklum, seseorang
kelak akan dibangkitkan dalam keadaan sebagaimana ia mati. Oleh sebab itu, satu
permohonan patut dilayangkan kepadaNya, semoga kita senantiasa selalu dalam
keadaan iman dan islam. Amin.
Dasarnya, amat sering kita
dengarkan setiap hari jum’at tatkala jum’atan. Yakni firman Allah dalam
al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 102, yang artinya “ Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepadaNya, dan jangan
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Adanya rasa cinta,
penghormatan, pengharagaan, dan pemenuhan berbagai macam hak, merupakan faktor dalam rangka terjalinnya ikatan persaudaraan
antar sesama manusia. Sebab, hanya dengan itulah ikatan persaudaraan dalam arti
yang sesungguhnya bisa terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Mari kita renungkan, hadits
Nabi yang amat familiar ini, dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW dawuh; “La
yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi maa yuhibba li nafsihi”. Yang artinya “Tidaklah beriman sempurna
salah seorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri”. [Muttafaq alaih].
Sekilas hadits ini amat
pendek, akan tetapi jika kita mau merenungkan, kita bisa menemukan pesan yang
cukup luas.
Salah satu tujuan agama
adalah terciptanya keharmonisan masyarakat. Satu sama lain terjalin hubungan
yang baik dan saling mengasihi. Kedamaian masyarakat menjadi prioritas bagi satiap
individu, sehingga mendahulukan kemaslahatan umum dan kedamaian masyarakat menjadi
hal yang amat penting. Secara sederhana dapat kita pahami bahwa kedamaian dan
keadilan di masyarakat tidak akan bisa terwujud tanpa adanya sikap persatuan
dan kasih sayang.
Selanjudnya, mustahil
keimanan akan menjadi kokoh dan mengakar di hati seorang Muslim, jika hatinya
selalu dikuasai dengan sikap egoisme, kebencian dan kedengkian. Sebab iman
seorang Muslim menjadi sempurnya, jika ia mampu menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain.
Bentuk kesempurnaan iman,
bisa ditandai dengan sikap peduli dan rasa kecintaan terhadap sesama. Bahkan
dengan mereka yang non-Muslim sekalipun. Mencintai non-Muslim berarti kita
mencintai mereka agar beriman, sekaligus membenci kekafiran dan kefasikan yang
mereka lakukan. Sebagaimana seseorang membenci kekafiran dan kefasikan terjadi
pada dirinya sendiri. Dari sini, secara sederhana dapat dipahami bahwa kita
perlu dan butuh peduli terhadap
sesama manusia.
Jangan pernah kawatir memiliki
keinginan untuk bisa beriman dan bertaqwa seperti yang dimiliki orang yang
lebih saleh. Sebab, ini bukanlah pengaharapan yang salah, bahkan bukan termasuk
sifat dengki. Pada titik tertentu, ini bisa menjadi bukti keimanan seseorang. Secara
sederhana dapat kita pahami, bahwa berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan
adalah bagian dari kesempurnaan iman.
Sejatinya, kita sebagai
umat beragama selalu didorong untuk senantiasa membantu orang lain untuk
melakukan kebaikan. Mendorong kebaikan kepada sesama, akan terasa lebih bermakna
dan berkesan jika kita landaskan pada rasa cinta dan kasih, bukan atas dasar
kekerasan atau kebencian. Dengan demikian, sangat mungkin tercipta hubungan yang
sejuk dan damai, demi terciptanya tatanan masyarakat yang harmonis dan
berwibawa.
Persaudaraan itu ya Se-iman
dan juga Universal. Persaudaraan juga memberi makna terhadap keimanan kita. Wallahu
a’lam bisshowab.
punjul, 23 Juni 2020
Alhmdulillah... Suwun...
ReplyDelete