Tradisi Borem (tibo merem) Cah Pondok |
SUBADI
Belajar dengan muroja'ah,
mengulang kembali pelajaran yang telah diajarkan di kelas, pastinya selalu
menjadi aktivitas sehari-hari semua santri di Pondok. Tidak ada tempat yang
kusus bagi satiap santri untuk muroja'ah, semua tempat yang ada seakan layak
dan nyaman untuk muroja'ah. Serambi masjid, kamar gotaan, kelas madrasah, uala/qo’ah, teras, dan bahkan di kantin. Semuanya
terasa nyaman-nyaman saja, apalagi ditemani dengan secangkir kopi manis,
rasa kantuk seakan enggan menghampiri.
Sejauh pengamatan
saya, pada saat itu, hampir tidak
diketemukan sahabat di penjara suci [memaknai pondok menurut beberapa
teman] itu, yang tidak pernah muroja’ah, semua pernah belajar dengan muroj’ah,
maaf, meskipun tidak semua rajin belajar
[termasuk saya,hehe]. Meskipun demikian,
saya sangat bersyukur, telah ditakdirkan punya kesempatan menimba ilmu di Pondok,
meskipun saya bukan termasuk santri yang pandai, tetapi sungguh sedikit
pengetahuan yang telah saya dapatkan, benar-benar saya rasakan manfaatnya, terlebih
ketika sudah boyong. Minimal, untuk perbaikan laku dan amal pribadi,
serta modal membangun keluarga.
Setiap santri, pasti
punya pengalaman unik selama mereka hidup di pondok, semisal
pengalamannya belajar di kelas, ngaji ngantukan, kehabisan bekal, terserang gatal-gatal [wawur
istilahnya], terkena hukuman karena tak mampu menghafalkan nadzom, pengalaman mengikuti lomba baca kitab kuning,
khitobah, atau pengalaman-pengalaman yang lain. Semua itu, pengalaman yang akan dikenang sepanjang hidup mereka.
Tentu, juga bisa menjadi bahan untuk bercerita dan membangun spirit bagi anak cucu mereka, di kemudian hari.
Ngomong-ngomong soal pengalaman, saya juga punya pengalaman
saat di pondok. Maaf, jujur harus saya akui, saya ini termasuk santri
yang jarang tidur sore [jam 22.00 ke bawah]. Kebiasaan tidur larut malam itu, ternya terbawa sampai saat ini. Kebiasaan
tidur larut malam itu, kayaknya sudah tak asing bagi santri pondok, utamanya bagi
santri yang nyambi sekolah, secara otomatis waktu belajarnya berlipat, satu sisi, mereka harus menuntaskan palajaran
madrasah dan pondok, di sisi yang lain, mereka harus menyelesaikan tugas-tugas
dari sekolah dan kuliah. Sudah barang
tentu, tantangannya sedikit lebih berat, termasuk waktu murojaah pelajaran sedikit relatif panjang jika dibanding mereka yang murni mondok saja.
Kejujuran kedua juga perlu saya ungkap, [meskipun ini aib bagi saya]. Ya,
kebiasaan sulit bangun tidur di waktu pagi menjelang subuh. Hampir tiap
pagi, saya bisa bangun karena ada yang
membangunkan. Meskipun demikian tidak berarti saya mengabaikan dan tidak bisa
mengikuti kegiatan [jama’ah dan ngaji], saya musti berterima kasih, karena ada teman
yang sudi membangunkan, sehingga bisa mengikuti jama’ah subuh, sekaligus ngaji Tafsir
Jalalain dengan Romo Kyai Abdul Aziz, lahul fatihah 3x, dan acara pagi itu
diakhiri dengan sorogan al-Quran, di serambi masjid.
-------------------------
Tempat favorit untuk
tidur bagi saya adalah serambi masjid, kalau tidak di situ, ya di kamar gota’an atan teras asrama. Tanpa beralas tikar, apalagi bantal, paling-paling tak terasa buku yang jadi bantal, buku apes.
--------------------------
Suatu ketika, malam itu saya habiskan
hanya untuk belajar, sekitar 3 kitab saya bawa untuk murojaah pelajaran madrasah,
seingat saya kitab fan fikih. Satu kitab pelajaran, dua
kitab lainya adalah kitab syarah untuk mendukung memahami pelajaran
pokok. Hingga larut malam saya belajar, tak terasa harus ketiduran di tempat
itu, ketiga kitab pun masih terbuka, berserakan disekitaran kepala saya. Apesnya, yang biasanya saya belajar diserambi masjid atau kamar gota’an, ini malah berada di kelas madrasah lantai 2, jelas jauh dari
teman-teman, terutama yang biasa membangunkan saya. Huh, bangkong sudah pasti, yang teman biasanya membangunkan tak tahu akan keadaan dan dimana saya berada. Tibalah waktu jamaah subuh.
Seperti lazimya, setiap pagi sehabis jama’ah
subuh, petugas keamanaan
menyisir tiap sudut ruang kelas, patroli mencari santri mbeling yang
bangkong, apes bin nasib, petugas keamanan itu, menemukan sosok santri mbeling
yang tak kunjung bangun, dengan
bijak beliau itu mengguyurkan air satu timba besar seukuran timba cat isi 25 kilo ke tubuh saya, [semampu
saya mengingat, timba itu memang bekas wadah cat 25 kiloan] , basah kuyup sudah pasti, dan ketiga kitab yang tak punya salah pun, ikut menanggung “dosa” mbangkong saya, ikut terguyur air dan
menjadi bubur, mumur. Hehe..The and.
4 Juni 2020.
Punjul-Karangrejo-Tulungagung
Pengalaman menjadi guru terbaik untuk meraih masa depan... Sae pak.. terus semangat..
ReplyDeletePripun jaman jenengan nten madura riyen?
DeleteHehew... Seng nyuyur uduk aku loh ،،،๐
ReplyDeleteSenirmu kae.. Kwkmwmw... Tiwas tuwek nik pondok...
DeleteByuuuuh....
ReplyDeleteKwkkwkw
DeleteKejaaam...
ReplyDeletePolll...
DeleteMasyaallah.. leres sedanten niku๐ bisa buat pengetahuan atau sekedar wawasan bagi santri zaman now atau bisa dibilang santri milenial, yg lebih sensitif dg yg namanya aturan๐ Jadi berasa santri sesungguhnya ๐ Ajib jiddan ๐
ReplyDeleteTidak boleh bangkongan...
ReplyDelete