S u b a d i
Bismillah. Secara sederhana, spiritual sering kali dikonotasikan
dengan rutinitas ketaatan atau peribadatan. Banyak orang tidak memahaminya
dengan makna sesungguhnya. Sehingga spiritual hadir dengan definisi yang sempit
dan kurang mencerahkan.
Spiritual adalah sebuah
jiwa yang menjalani hidup berdasarkan apa yang diyakini, namun tetap sesuai dengan
ajaran dan norma-norma yang ada. Pada dasarnya, setiap manusia adalah makluk
spiritual. Meskipun terkadang tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Sebab sejak
lahir manusia sudah membawa fitrah-fitrahnya, yang di antaranya adalah fitrah
agama, suci, bermoral dan kebenaran.
Namun, terkadang juga
sangat disayangkan, dampak media sosial yang begitu dahsyat sedikit banyak
telah mempengaruhi jiwa dan perilaku seseorang. Sehingga, pada titik tertentu laku
spiritualitas seseorang juga mengalami krisis dan penyimpangan.
Media sosial jika tidak
disikapi dengan bijak, juga akan menjadi salah satu saksi yang menyuarakan
betapa sebagian manusia saat ini sedang mengalami krisis spiritual. Ibarat
ladang yang begitu subur, ia sedang ditumbuhi dengan rindangnya jiwa-jiwa narsistik.
Sisi yang lain, media
sosial juga akan sangat bermakna, jika kita mampu menggunakan sebagai sarana menebar
nila-nilai positif, seperti semangat berdakwah, sarana memberi motivasi,
penyalur informasi keberhasilan, karya inspiratif, dan lain sebagainya. Semua itu
akan bermakna sekaligus ladang pahala jika disandarkan pada pondasi niat yang
benar. Sekalipun kelihatannya bersifat narsistik.
Lalu pertanyaannya, apakah
salah jika kita menarsiskan aktivitas spiritual kita di media sosial ?
semisal mengunggah foto sedang sedekah, sedang berdoa, sedang beribadah, atau
bahkan saat menjalani aktivitas tahajud di sepertiga malam.
Bagi saya, tetap ada dua kemungkinan jawaban. Pertama,
tidak ada yang salah dengan aktivitas-aktivitas mulia tersebut di atas. Sebab, semua
tergantung pada niat masing-masing individu yang menjalaninya. Jika diniatkan
untuk memberi motivasi sesama agar ikur meniru jejaknya. Bagi saya tentu akan
sangat bermanfaat dan besar kemungkinan akan menjadi ladang pahala. Diawali niat
lillah, baru kemudian disusul niat-niat mulia yang lain.
Jawaban yang kedua, akan
sangat disayangkan, jika hanya sebatas untuk meninggikan citra diri agar
dianggap sebagai orang yang spiritualitasnya tinggi. Hal ini bukanlah sikap
terpuji, sebab ia merupakan penyakit hati. Dan bahkan, jika sampai hanya
menjadi pledoi untuk menutupi kondisi yang sesungguhnya, tentu lebih
miris lagi.
Tegasnya, semua aktivitas
manusia di media sosial akan sangat tergantung kepada niat yang mendasarinya. Jika
niatnya murni karena Allah, tentu akan bermakna dan bernilai pahala. Akan tetapi
jika hanya sebatas demi kepentingan dunia dan sikap narsis, pasti yang menjadi
tujuannya – dunia dan narsis – itulah yang akan diperoleh. Niat akan sangat
menentukan muara dari setiap aktivitas seseorang.
Akan tetapi, perlu juga
dipahami bahwa seseorang yang memiliki spiritual tinggi akan menjalani hidup
sesuai dengan keyakinan dirinya, tanpa sedikitpun mencederai norma-norma yang
ada, sehingga secara otomatis kepribadian narsistik akan ditolak oleh
jiwa spiritual.
Sebab, spiritual bukanlah
semata-mata perilaku yang tampak. Akan tetapi, lebih jauh dari itu spiritual
adalah sikap seseorang dalam menjalani hidup. Sehingga, sangat tidak heran jika
spiritual juga dianggap sebagai salah satu kecerdasan yang setara dengan IQ.
Tegasnya, spiritual
mempunyai dua sisi yang saling berjalan beriringan, yakni satu sisi keislaman
yang tercermin dalam perilaku keseharian, dan lainya adalah sisi keimanan
yang tercermin dalam kondisi jiwa. Wallahu a’lam bisshawab.
Punjul, 20 Juni 2020
Mantab Kang...smg tidak hanya terjebak pada ibadah yang tampak saja....
ReplyDeletesiap Pak...
ReplyDelete