google-site-verification=a29cQDLicXmx_KpxGtFuPjFzKNqoMZ3FEdNxkyQfTTk Kang Badi': LOGIKA USUL FIKIH, (cara cerdas menyikapi yang "MUBAH")

LOGIKA USUL FIKIH, (cara cerdas menyikapi yang "MUBAH")


S u b a d i 

Bismillah. "Menjalankan yang diperbolehkan (mubah), hakikatnya Meninggalkan yang diharamkan". 

Mari kita pelajari bersama;

Sebagai seorang Muslim, kita tentu sudah mengetahui bahwa pranata hukum Islam megajarkan lima katagori hukum dalam perilaku keseharian, yakni wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Aturan ini sejatinya merupakan sebuah keniscayaan agar roda kehidupan berjalan dengan tertib, aman dan damai. 

Wajib, adalah sesuatu yang harus ditunaikan, jika ditinggalkan maka akan mendapatkan dosa. Sunnah, adalah sesuatu yang apabila tunaikan akan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Haram, adalah sesuatu yang harus ditinggalkan, jika dikerjakan akan mendapatkan dosa. Makruh, sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa, jika ditinggalkan maka akan berpahala. Dan mubah, mengerjakan atau meninggalkan tidak akan berpahala atau dosa. 

Sungguh, logika usul fikih ini mengajarkan sesuatu yang sangat brilian. Ketika ada sesuatu yang asalnya netral, yakni tidak memiliki konsekuensi apapun, dalam hal ini mubah, bisa menjelma menjadi "meninggalkan yang diharamkan".

Sebagai contoh, untuk mempermudah kita memahaminya, misalnya sebagai berikut :

Kita hidup pasti mempunyai tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang lain. Di saat kita jeda, setelah selesai mengerjakan tugas, sambil menunggu tugas yang lain, menggunakan waktu luang ini dengan istirahat adalah sesuatu yang yang sangat lumrah, sah-sah saja. 

Istirahat ini dalam usul fikih masuk katagori perkara yang mubah. Akan tetapi jika istirahat ini digunakan secara positif, seperti tidak terlibat ngrumpi dengan teman sejawat, atau ngobrol panjang lembar, sana-sini yang tidak ada faedahnya, maka nilai tambah secara keislaman akan menjadi lebih bermakna dan bertambah karena tidak ikut ngrumpi dan ngobrol yang tiada guna. Tegasnya, nilai tambahnya adalah menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak utama atau mulia. 

Apalagi, jika kita mampu mengisi dengan hal-hal yang lebih positif lainnya, seperti mengaji, menulis, membaca, shalat dhuha, dan lain-lain. Tentu, yang mubah itu akan menjadi jauh lebih bermakna lagi, bahkan akan menjadi tambahan pahala. Wallahu a'lam bisshawab. 

Boyolangu, 20 Juli 2020


5 comments:

  1. Titik tekannya adalah pada niat..
    Karena innamal a'mqlu binniyat.
    Tanpa niat akan sia2
    Menurut kulo

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah... Terimakasih Kang atas Wawasan Ilmunya..🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah... Terimakasih Kang atas Wawasan Ilmunya..🙏

    ReplyDelete

Terimaksih telah berkenan membaca tulisan ini, komentar anda sangat saya hargai. Semoga ada manfaatnya. amin..

𝗥𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗞𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻

𝘒𝘦𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘴𝘰𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪...